Upaya ngotot untuk memiliki sang buah hati bisa mendatangkan tekanan psikologis yang menyebabkan disfungsi ereksi. Nah, bagaimana menghindarinya, supaya program menghadirkan si kecil tidak malah kandas di tengah jalan.
Sebut saja namanya Wirya, meski sudah 4 tahun menikah, pria bertubuh atletis ini belum juga dikaruniai anak. Perasaannya sangat tertekan, selain karena harapannya tak kunjung terkabul, orang-orang di sekelilingnya juga rajin menanyakan si buah hati. Berbagai terapi pengobatan sudah dilakoninya, salah satunya dengan menghitung masa subur istri agar pembuahan bisa terjadi.
Nah, sepulang berkonsultasi, malam nanti Wirya diwajibkan berintim-intim dengan istrinya. Tekanan kata "wajib" mengiang terus selagi Wirya siap "tempur." Apa mau dikata ternyata penisnya tak kunjung mengeras, meski sudah didukung obat kuat. Menurut dr. Ferryal Loetan, ASC & T, Sp.RM, M.Kes (MMR), dari Klinik Retna, Fatmawati, Jakarta Selatan, disfungsi ereksi (DE) seperti yang dialami Wirya ini disebabkan tekanan psikologis yang dialaminya. "Jangan salah, tekanan psikologis punya pengaruh besar terhadap gagalnya ereksi pada pria. Soalnya, ereksi sangat tergantung pada kemampuan otak dalam menerima rangsangan dari luar. Bila kondisi psikologisnya terganggu, mau tidak mau otak tidak bisa bekerja dengan baik. Segala rangsangan seksual, baik penglihatan, penciuman, pendengaran, maupun bau-bauan tidak dapat diolah oleh otak."
Asal tahu saja, pengolahan rangsangan tersebut dipengaruhi beberapa faktor. Salah satunya, hormon yang akan diteruskan melalui serabut saraf sampai ke penis. Jika proses ini terjadi, maka terjadilah pelebaran pembuluh darah dan jaringan elastis di penis. Alhasil, pelebaran ini menyebabkan membanjirnya aliran darah ke daerah panggul dan penis, sehingga organ itu menjadi kencang atau ereksi. Jadi, jika terdapat tekanan psikologis pada seorang pria, maka proses kerja hormon seksualnya akan terhambat.
Gambaran kasarnya, lanjut Ferryal, proses kerja otak yang baik ditandai dengan cepatnya proses penerimaan sinyal ke bagian tubuh tertentu. Misalnya, bila seorang pria melihat sesuatu yang merangsang, setidaknya muncul getaran nafsu yang kadang langsung dibarengi dengan pengerasan penis. Menurut Ferryal hal ini normal terjadi pada laki-laki. Namun, tidak demikian halnya bila yang bersangkutan sedang mengalami berbagai masalah. Termasuk, masalah untuk segera memiliki anak. Jangankan melihat sesuatu yang merangsang, proses perangsangan yang sudah dilakukan berulang-ulang pun belum tentu membuat penisnya ereksi.
CIPTAKAN KONDISI NORMAL
Hal senada juga diungkapkan Dra. Tisna Chandra, Psi., dari Parents Partner Bintaro. Menurutnya, kondisi psikologis memang sangat mempengaruhi kemampuan seorang pria untuk ereksi. "Bagaimana mungkin bisa ereksi kalau di pikirannya berkecamuk permasalahan lain. Daya konsentrasinya pun akan selalu buyar atau setidaknya menurun tajam bila berbagai tekanan selalu menghantuinya."
Untuk mengatasi masalah ini, Tisna menganjurkan, seorang pria haruslah mengupayakan kondisi psikologis yang nyaman. Bila seseorang hendak menjalani program memiliki anak, "Lakukan dengan kondisi psikis yang stabil. Keinginan menggebu-gebu sebaiknya diredam agar tidak memunculkan harapan-harapan yang terlalu tinggi."
Itulah mengapa, suami yang tengah mengikuti program kehamilan istri perlu didampingi ahli terkait lain untuk membantu mengupayakan kondisi psikologis yang normal. Dari situ akan dicari tahu permasalahan yang dihadapinya, sehingga terapi pengobatan yang dilakukan pun bisa tepat dan sesuai.
Sayangnya, pada beberapa orang, ketidakmampuan melakukan ereksi sering diatasi dengan jalan pintas, yakni dengan langsung mengonsumsi obat-obatan. "Padahal, penggunaan obat belum tentu bisa membuat yang bersangkutan langsung ereksi. Bahkan bila tekanan psikologisnya sedemikian kuat, obat tidak akan berpengaruh apa-apa," tandas Ferryal.
Sebetulnya, kondisi psikologis yang mendukung ereksi sederhana saja, kok, yakni kondisi yang sehat dan normal atau tidak mengalami tekanan mental (depresi). Tekanan tersebut bisa berasal dari dalam ataupun luar. Dari luar, di antaranya bisa berupa beban pekerjaan, sementara tekanan dari dalam antara lain ketidakharmonisan dengan pasangan. Istri yang mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan atau bernada melecehkan bisa menjadi pemicu terjadinya DE.
Pada kasus Wirya, Ferryal menganjurkan agar ia berusaha menormalkan kondisi psikologisnya. "Hilangkan perasaan tertekan, termasuk tekanan dari lingkungan yang seolah menuntutnya mampu membuktikan diri menghadirkan keturunan. Jadikan hubungan intim sebagai suatu ajang rekreasi yang mesti dinikmati bersama. Nah, bila ternyata konsultasi tak kunjung membuahkan hasil, penggunaan obat-obatan dengan pengawasan dokter bisa saja dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi kesehatan secara keseluruhan."