"Foto: Iman "
Misalnya dalam hal latihan karate seperti contoh di atas. Apa pengaruhnya jika si anak ikut? Kalau memang menguntungkan, mengapa tidak? "Jadi, kompromi diambil bukan demi kepentingan ibu atau ayah, melainkan untuk anak," ujar Rostiana.
Untuk bisa berkompromi, pasangan harus banyak melalukan dialog sehingga yang keluar adalah satu suara. Karena, bagi Rostiana, anak harus melihat orang tuanya kompak sementara anak sendiri tak merasa dipojokkan. Asalkan kekompakan itu didasari oleh reasoning. Misalnya, orang tua melarang anak dengan alasan yang masuk akal sehingga anak mengerti, larangan itu adalah konsekuensi tindakannya. Dengan demikian ia akan merasa yang jelek adalah kelakuannya, sementara ia sendiri tetap merasa diterima oleh keluarga. Anak akan mengerti, "Oh, saya dimarahi karena hal itu, bukan karena dibenci."
Ayah dan ibu juga harus konsisten. Misalnya dalam menerapkan disiplin. Sekali bilang, ya, tetap harus, ya. Jangan sampai hari ini boleh tapi besok nggak boleh, dan lusanya dibolehkan lagi. Bukan berarti orang tua tak boleh melakukan perubahan. Tapi perubahan haruslah disertai alasan yang masuk akal. Bila perlu, orang tua minta maaf. Jangan sampai anak menjadi bingung.
Selain itu, sambung Ieda Sigit, ayah dan ibu juga harus rajin mencari umpan balik. Sebelum berbuat sesuatu sebaiknya selalu bertanya pada diri sendiri, apa dampaknya ke anak. "Jadi ada self criticism dan self correction. Ini akan lebih enak daripada dikritik dan dikoreksi orang lain atau pasangan."
Baca Juga: BCL: Umur 25 Tahun Momen Kehidupan Paling Gila
GRADASI
Bagaimana kalau pola asuhnya disamakan saja? Misalnya ayah dan ibu sama-sama otoriter atau sama-sama demokratis. "Kalau pola asuhnya sama-sama otoriter, ya, nggak bagus juga," tukas Rostiana.
Yang penting dalam hal ini, lanjutnya, bukanlah soal persamaan atau perbedaan. Sebab, ayah dan ibu, bagaimanapun adalah dua orang yang berbeda sehingga meskipun pola asuhnya sama namun dalam penerapannya tak jarang akan berbeda juga. Misalnya, ibu membolehkan anak berbicara terbuka tapi dengan cara yang sopan. Sementara ayah membolehkan anak langsung ngomong kalau si anak tidak setuju pada suatu hal. Dengan kata lain, hanya gradasinya saja yang berbeda tapi dasar atau konsepnya sama: anak boleh mengemukakan pendapatnya. "Hal ini masih bisa menghasilkan anak-anak yang sehat secara mental."
Gabungan Tiga Pola Asuh
Pada umumnya ada 3 macam tipe pola asuh, yakni otoriter, permisif, dan demokratis. Pada pola asuh otoriter, orang tualah yang menentukan semuanya. Orang tua menganggap semua yang mereka katakan adalah yang paling benar dan baik. Anak dianggap tak tahu apa-apa. Orang tua tak pernah mendorong anak untuk mandiri dan mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan tindakan si anak. Orang tua hanya mengatakan apa yang harus/tidak dilakukan dan tak menjelaskan mengapa hal itu harus/tidak dilakukan.