Pola asuh yang permisif cenderung membiarkan anak berkembang dengan sendirinya. Orang tua tak memberikan rambu-rambu apa pun kepada anak. Yang ada hanyalah rambu-rambu dari lingkungan.
Baca Juga: Rossa Tolak Pakai Baju Terbuka
Sedangkan pola asuh demokratis menggunakan penjelasan mengapa sesuatu boleh/tidak dilakukan. Orang tua terbuka untuk berdiskusi dengan anak. Orang tua melihat anak sebagai individu yang patut didengar, dihargai dan diberi kesempatan.
Dari ketiga pola asuh tersebut, menurut Ieda Sigit, yang ideal ialah perpaduan ketiganya. Sehingga orang tua tahu kapan boleh membiarkan anak, kapan bersikap demokratis, dan kapan harus menggunakan hak prerogatif mereka sebagai orang tua. Misalnya, anak tetap ngotot melakukan sesuatu yang salah padahal orang tua sudah memberi tahu dan menjelaskannya. Nah, pada saat itu orang tua bisa bersikap otoriter karena anak belum tahu bahaya yang akan dihadapi bila ia melakukan perbuatan tersebut. "Kelebihan pengetahuan dan pengalaman orang tua inilah yang diharapkan bisa mengarahkan dan membimbing anak."
Apalagi dalam menghadapi era milenium, tanggung jawab orang tua menjadi jauh lebih berat. "Orang tua harus lebih banyak lagi belajar, membaca, mendengar, dan melihat. Kalau tidak, akan ketinggalan dari anak." Karena itu Ieda Sigit meminta orang tua untuk betul-betul melihat ke depan, sehingga dalam merancang pendidikan anak menjadi bisa lebih bijaksana. "Jangan terlalu terpukau oleh kemajuan teknologi sampai lupa bahwa anak adalah manusia yang bukan hanya mempunyai pikiran tapi juga perasaan." Orang tua harus mengembangkan seluruh aspek-aspek perkembangan agar anak bisa menjadi satu pribadi yang kuat, baik dalam hal intelektual, emosional, dan sosial.
Hasto Prianggoro/nakita
Baca Juga: Kesegaran Tarts Nanas Saus Santan