Ibu Lemah Lembut, Ayah Tegas Dan Keras (1)

By nova.id, Selasa, 4 Mei 2010 | 18:54 WIB
Ibu Lemah Lembut Ayah Tegas Dan Keras 1 (nova.id)

Wajar saja jika ayah dan ibu berbeda pola asuh. Yang terpenting, jangan sampai anak-anak jadi korban dari perbedaan itu. Berikut kiat menyiasatinya.

"Huh, kalau Papa, sih, galak. Beda dengan Mama, selalu baik,"begitu, bukan, ucapan yang sering kita dengar? Memang, pola asuh yang diterapkan ayah dan ibu seringkali tak sama alias beda. Bahkan mungkin itu pula yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Entah Anda yang cenderung keras dan suami ekstra sabar, atau sebaliknya.

Perbedaan itu amat wajar terjadi. Soalnya, masing-masing berasal dari latar belakang yang berbeda. Mungkin waktu kita kecil dulu, kita terbiasa dengan pola tegas dan keras yang diterapkan ayah, sehingga pola itulah yang kita teruskan pada anak-anak. Belum lagi pengaruh dari pengalaman yang pernah kita dapat atau dari bacaan dan pendidikan yang kita terima.

Karena perbedaan pola asuh anak, antara suami-istri kemudian kerap timbul konflik. Apalagi bila keduanya ngotot, pola asuh dialah yang terbaik dan paling benar. Padahal kalau mau saling kompromi, konflik bisa dihindari. Minimal, dikurangi agar tak menimbulkan "ledakan hebat". Yang jelas, kedua belah pihak harus menyadari, apa pun pola asuh yang akan diterapkan, tujuan akhirnya adalah untuk kepentingan serta kebaikan anak.

LEMBUT VS KERAS

Umumnya kita mengharap, seorang ibu adalah sosok halus yang mestinya bersikap lemah lembut, sementara ayah harus tegas dan keras. "Pendapat itu muncul karena faktor sosial budaya kita, di mana laki-laki diajar untuk menjadi nomor satu, harus bisa memimpin, berwibawa, dan lainnya," kata psikolog Dra. Rostiana. Karena sejak kecil dididik seperti itu, ketika dewasa dan menjadi ayah, ia pun memiliki karakteristik seperti itu dan jadilah ia kepala keluarga yang memiliki pola asuh keras.

Sementara perempuan dibesarkan dalam pola asuh yang sangat melindungi dan banyak dibatasi oleh larangan-larangan. Ini kemudian berpengaruh pada pembentukan pola kepribadian perempuan dan akhirnya mempengaruhi pula pola asuh yang dianutnya.

Dari segi permainan pun, sambung Pembantu Dekan III Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara Jakarta ini, antara anak laki-laki dan anak perempuan dibedakan. "Anak perempuan, kan, jenis permainannya lebih banyak yang mengutamakan perasaan. Main boneka, misalnya. Boneka, kan, harus disayang, digendong."

Sedangkan anak lelaki, jenis permainannya cenderung kasar semisal sepakbola dan perang-perangan.

Jadi, sambung Rostiana, "Sejak kecil laki-laki memang dididik untuk berperilaku yang lebih mengarah pada agresivitas, sementara perempuan tidak." Lama kelamaan terbentuklah karakteristik yang berbeda tersebut. Dan ketika mereka menjadi orang tua, pola itu pula yang mereka berikan kepada anak-anaknya.

TERGANTUNG PENDUKUNG

Sebetulnya, lanjut Rostiana, perbedaan itu tak masalah. Wajar saja, bukan, bila ibu memperlakukan anaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang, sementara dari ayah si anak mendapatkan pendidikan yang tegas dan cenderung keras? "Yang masalah adalah jika cara asuhnya yang berbeda. Karena ayah dan ibu, kan, seringkali tidak sepakat dalam berbagai hal."

Rostiana lalu memberi contoh seorang anak perempuan ingin ikut kursus karate. Ayahnya setuju tapi si ibu melarang. "Kok, anak perempuan karate? Enggak lucu, ah!" Ini sama halnya jika seorang ayah cenderung memanjakan anak. Ayah lebih banyak memberikan hal-hal yang membuat anak terlena seperti permainan atau materi yang sebetulnya tak dibutuhkan anak. Sementara si ibu tak setuju dengan cara tersebut.

Celakanya, kerap kali ketidaksepakatan atau ketidaksetujuan itu dikemukakan di depan anak. Akibatnya, anak menjadi bingung, yang mana yang harus diikuti. "Situasi seperti ini membuat anak akhirnya mengambil keputusan keberpihakan. Ia akan berpihak pada orang tua yang memang menunjang keinginannya."

Jadi, kalau si ayah yang membolehkan, maka ia akan menganggap ayahnya lebih positif daripada ibunya. Hal ini juga akan membuat sikap anak terhadap orang tuanya menjadi berbeda. Anak juga nantinya akan terus melakukan berbagai hal dengan selalu mencari dukungan pada sang ayah. Karena menurut dia, hanya ayah yang bisa mendukung dan mengerti. Akibatnya, hubungan anak dengan si ibu menjadi terganggu.

TETAP ADA ATURAN

Penting dipahami, lanjut Rostiana, pola berpikir anak sangatlah sederhana. Yang ia tahu, sesuatu yang menyenangkan baginya itulah yang ia ambil. "Nah, kalau dia tahu ayahnya mendukung, maka ia akan lebih dekat ke ayah sebab ia sadar betul, ibu pasti melarang sementara ayah oke-oke saja."

Supaya itu tak terjadi, saran Rostiana, orang tua sebaiknya jangan mengutarakan perbedaan pola asuh yang mereka miliki di depan anak. "Ayah dan ibu harus punya waktu sendiri untuk membahasnya." Coba saja, deh, renungi kejadian yang kita alami sehari-hari. Ketika suami sedang memarahi anak, misalnya, istri justru membela si anak dengan alasan tak tega. "Ini jelas keliru! Anak malah menjadi labil dan tak punya pegangan. Kalau ibu nggak tahan melihat anak dimarahi ayah, sebaiknya diam atau pergi saja," anjur Rostiana. Kecuali kalau marahnya sudah kelewatan, barulah turun tangan menengahi agar emosi suami tak meluap-luap.

Pendapat Rostiana didukung psikolog Ieda Poernomo Sigit Sidi yang ditemui terpisah. "Dalam suasana seperti itu, sebaiknya ibu juga tak boleh ikut memarahi anak karena akan berakibat tak baik bagi anak. Lebih baik ibu dekati anak dan jelaskan mengapa sang ayah marah. Dengan begitu, anak akan merasa bahwa ada orang yang mengerti perasaannya." Dengan kata lain, menurut Ieda, "Aturan dan sangsi tetap harus ada, sementara si anak pun tetap merasa mendapatkan pegangan."

HARUS MATANG

Ieda Sigit melihat, tak ada salahnya ayah dan ibu bertengkar di depan anak lantaran berbeda pola asuh. Karena, "Ada hal-hal yang memang perlu ditunjukkan di depan anak, termasuk bertengkar. Anak juga harus tahu bahwa kedua orang tuanya bisa saja berbeda pendapat."

Yang penting, lanjutnya, pertengkaran itu bukanlah pertengkaran yang tak sehat. Justru dari pertengkaran yang sehat itulah, kata Ieda, anak melihat bagaimana cara orang tua saling mengemukakan pendapatnya. "Anak itu, kan, belajar dengan cara meniru. Kalau ia melihat cara orang tuanya menyelesaikan persoalan dengan bertengkar hebat, ia pikir begitulah cara menyelesaikan perbedaan pendapat."

Karena itulah Ieda Sigit menegaskan, menjadi orang tua tak gampang. Untuk bertengkar saja, misalnya, harus memperhitungkan akibatnya, terutama bagi anak. Hal ini juga menunjukkan tingkat kedewasaan untuk bisa menjadi orang tua. "Jangan sampai terjadi 'anak punya anak'. Secara fisik dan ekonomi sudah siap, tapi mentalnya belum siap menjadi orang tua. Tingkah lakunya masih kekanak-kanakan, tapi sudah punya anak. Kan, repot. Bagaimana ia bisa mengasuh anak kalau ia sendiri masih jadi anak-anak?"

Tak pelak lagi, diperlukan kematangan untuk bisa menjadi orang tua. Orang tua harus mengerti, setiap perilaku yang mereka tunjukkan, berarti pada saat itu juga mereka sedang menjadi model bagi anak. "Manusia berkembang dengan merekam. Pada saat dibutuhkan, rekaman itu akan keluar. Contohnya, setiap kali mengerjakan sesuatu, biasanya kita akan mengingat, 'Oh, ini cara Ayah dulu. Oh, ini kebiasaan Ibu dulu.' Kalau rekamannya enggak baik, ya, yang keluar pun akan tak baik," ujar Ieda.

Contohnya seorang anak lelaki yang melihat ayahnya memukul ibunya saat bertengkar. Bisa saja anak akan menjadi iba pada sang ibu dan berjanji di dalam hati tak akan pernah melakukan hal itu pada istrinya kelak. Atau sebaliknya, si anak justru menganggap memang begitulah caranya. Sehingga kelak ia akan memiliki kecenderungan untuk melakukan hal serupa pada istrinya. Bukan karena faktor keturunan, tapi lantaran faktor imitasi itu tadi, "Oh, kalau marah itu artinya menampar." Atau, bisa juga terjadi si anak malah memandang sebelah mata pada ibunya.

Karena itulah Ieda menasihatkan, "Suami-istri harus ingat, pasangan Anda adalah orang tua anak juga. Jadi, jangan ajari anak untuk kurang ajar." Tak jarang terjadi, misalnya ibu mengatakan, "Kok, begitu, sih, sama ayah?" kala anaknya bertingkah tak sopan. Si ibu lupa bahwa bahwa dialah yang mengajari sang anak untuk bersikap seperti itu pada ayahnya karena memang sikap itulah yang diterapkan si ibu terhadap suaminya. (bersambung)

Hasto Prianggoro/nakita..