Cemburu juga dipengaruhi oleh personal self esteem (harga diri seseorang). "Ada orang-orang tertentu yang harga dirinya rendah atau negatif. Ia merasa kurang percaya diri, merasa tak mampu, tak berdaya. Nah, mereka ini termasuk yang rentan untuk disergap rasa cemburu," terang Lita.
Biasanya, tipe ini langsung bereaksi destruktif. Begitu ada wanita/pria yang menelepon atau mengunjungi pasangannya, pikirannya langsung negatif, "Jangan-jangan ada hubungan khusus, nih." Jadi, belum apa-apa sudah cemburu. Belum jelas persoalannya, tapi ia sudah merasa hubungan dengan pasangannya terancam. "Orang-orang semacam ini biasanya tak berintrospeksi. Mereka langsung merasa, hal ini akan sangat berbahaya bagi hubungan mereka."
Perasaan memiliki (feeling of possessiveness) pasangan, juga kerap menimbulkan cemburu. Ada orang yang rasa memilikinya sangat tinggi, sehingga sudah merasa sangat terganggu saat pasangannya disentuh atau ditelepon wanita/pria lain. Sebaliknya, ada yang malah sama sekali merasa tak terganggu dengan "ulah" pasangannya. "Saya yakin istri/suami saya tak akan melakukan hal-hal negatif. Kalau cuma ditelepon, enggak masalah."
Perasaan memiliki, menurut Lita, bisa positif asal masih dalam batas wajar. Artinya, hanya sekadar sebagai sinyal atau mengingatkan pasangan bahwa, "Kamu itu milik saya, lo." Jadi, cemburunya masih terkontrol dan semata-mata untuk sekadar memberi tahu pasangan agar jangan "lari" dari jalur yang sudah disepakati. "Sebagai bukti bahwa kita menyadari ada hubungan yang kuat atau intens di antara kita dengan pasangan."
Tapi kalau rasa memilikinya kelewat berlebihan, bisa berbahaya. Sebab, kita akan cenderung untuk mengendalikan dan mengekang perilaku maupun perasaan pasangan. Akibatnya, "Bisa-bisa jadi cemburu buta. Masalah kecil saja bisa memicu kecemburuan," jelas Lita. Ada, kan, suami yang tak mengizinkan istrinya keluar rumah kalau tidak diantar? Suami langsung cemburu begitu melihat istrinya ramah pada orang lain? Sebaliknya, ada juga istri yang begitu.
KOMUNIKASI
Ketika dilanda cemburu, reaksi tiap orang berbeda-beda. Tapi pada umumnya, pria akan marah dan langsung mengkonfrontir istrinya. Sementara pada wanita, selain marah, juga cenderung bereaksi destruktif. Marahnya meledak-ledak dan tak jarang disertai dengan melempar-lempar barang atau malah memukul pasangannya. Ini terjadi karena si wanita mengalami depresi. Ia merasa sangat menderita karena menduga-duga suaminya memiliki hubungan khusus dengan wanita lain. Ia merasa dirinya tak berharga dan tak menarik lagi. Ia pun takut luar biasa kalau-kalau hubungan suaminya dengan wanita lain itu akan berlanjut.
Perasaan cemburu, menurut Lita, biasanya bukan merupakan emosi tunggal tapi akan diikuti pula oleh emosi lain seperti rasa curiga, marah, menolak, dan rasa permusuhan. Perasaan-perasaan tersebut dialami bukan hanya pada wanita, tapi juga pria. "Jika semua perasaan ini mengumpul, satu saat bisa meledak." Itulah mengapa Lita menyarankan agar pasangan sebaiknya mengkomunikasikan kecemburuan tersebut.
Tentu saja komunikasi itu hendaknya tak bersifat memvonis. Karena tujuan dari komunikasi ini sebenarnya untuk mengklarifikasikan apakah pasangan memang punya hubungan khusus dengan wanita/pria lain atau cuma hubungan biasa. "Bisa jadi, kan, pasangan sebetulnya tak punya hubungan apa-apa dengan wanita/pria lain tapi oleh pasangan dipersepsikan sebagai hubungan khusus?"
Ada baiknya juga suami/istri menyampaikan hal-hal yang tak disukainya dari pasangan sehingga ia pun tak akan mengulangi kesalahannya. Sebaliknya, suami/istri juga tak boleh melakukan hal-hal yang ia sendiri tak suka jika perbuatan tadi dilakukan oleh pasangannya. "Dengan kata lain, harus fair. Masing-masing pihak tahu batasnya. Enggak perlu sampai dijelaskan detil. Yang penting, saling menyadari."
Lita melihat, pasangan yang memiliki komitmen jelas dalam perkawinan, umumnya lebih mudah membina komunikasi setelah perkawinan. "Kalaupun timbul konflik, itu wajar. Tapi dengan adanya komitmen yang jelas, konflik yang mungkin timbul karena perasaan cemburu justru bisa diredusir."
Soal kapan tepatnya untuk berkomunikasi, tentu pasangan sendirilah yang paling tahu. "Ada yang mungkin bicaranya pada saat anak-anak sudah tidur atau setelah mandi. Bisa juga sambil nonton teve atau begitu bangun tidur saat kondisi pikiran sedang jernih," tutur Lita. Yang penting, jangan berkomunikasi saat emosi sedang tinggi karena tak akan bakal dicapai jalan tengah. "Malah bisa berlanjut ke konflik terbuka, yang bisa berpengaruh pada anak."