Merajut Hidup Tanpa Suami

By nova.id, Jumat, 16 April 2010 | 17:01 WIB
Merajut Hidup Tanpa Suami (nova.id)

Dari sini, kita dapat belajar bahwa kualitas kepribadian ayah dan ibu pasti menjadi acuan pengembangan kedewasaan dan rasa tanggung jawab pada anaknya.

Ibu Rieny Yth.,

Saya (24 th), menikah akibat hamil di luar nikah, sekarang kehamilan memasuki 8 bulan. Suami 5 tahun lebih muda, ketika pacaran, dia masih kelas 3 SMA. Hubungan kami langgeng hingga akhirnya dia masuk di salah satu sekolah intansi milik pemerintah.

Selama pacaran, saya keras, terutama menyangkut masalah narkoba dan minuman keras, karena pernah dilakukannya. Tapi karena telanjur cinta, saya tak pernah mempermasalahkannya.

Saya memintanya berteman dengan orang yang berkeinginan membangun masa depan, agar dia terbawa positif. 2 bulan setelah masuk sekolah, dia cuek, tak lagi setia, mulai menyentuh narkoba dan minuman keras lagi. Sementara, saya terlanjur hamil.

Dia bersikeras mengaborsi kandungan saya. Saya mengerti kecemasannya, karena dia masih muda, terikat ikatan dinas, belum bisa menikah, tapi saya tak mau.

Bisa Ibu bayangkan beban perasaan saya, dia tidak melihat kesabaran dan itikad baik saya untuk masa depan kami. Bisa saja kan, Bu, saya melaporkan dia ke pihak sekolah tempat dia dididik.

Ketika kehamilan makin besar, saya bercerita pada tantenya. Usai pelantikan, kami menikah di bawah tangan dan wajib dirahasiakan dan dilakukan tanpa sepengetahuan orang tua saya di Jawa.

Sebagai istri, saya ingin diperhatikan dengan kehadirannya di waktu luangnya, toh, dia belum mendapatkan penempatan tugas. Dia tidak peduli dan masih meminta saya aborsi.

Pertengkaran sering terjadi, dia mengambil surat keterangan nikah tanpa sepengetahuan saya. Bayangkan, Bu, apa jadinya saya yang hamil tanpa surat nikah? Saya meminta surat itu, tapi berakhir dengan kesalahpahaman dengan ibu dan tantenya, sehingga mereka tidak lagi simpati. Jika dipikir dengan akal sehat, kenapa saya harus menghancurkan suami? Tak lama setelah itu, dia ditempatkan di Belitung dan komunikasi terputus, keluarganya merahasiakan nomor handphone barunya.

Saya kembali ke Jawa, berterus terang pada ayah dan ibu dan mohon ampun atas kesalahan. Syukurlah mereka menerima dan memaafkan. Kami pun memilih berpasrah diri pada Allah. Saya bekerja sebagai buruh di pabrik demi diri sendiri dan janin.

Cita-cita saya saat ini adalah melahirkan bayi yang saya cintai walau datang di waktu yang tak tepat dengan uang sendiri. Terus terang Bu, suami saya tidak menafkahi, dia tidak tahu alamat orang tua di Jawa.