Nah, bila hal itu diulang berkali-kali, lama-lama bayi akan mengerti bahwa ia tak boleh menyentuh kabel telepon, tak boleh memasukkan jari-jemarinya ke lubang kipas angin, dan sebagainya. Kemudian, agar kita tak terlalu banyak melarang bayi, kita bisa menyingkirkan apa saja yang sekiranya dapat membahayakan bayi. Misal, tepi taplak meja yang berjuntai di keempat sisi meja atau barang-barang antik mahal yang dipajang di atas meja, dan lainnya. Bukan berarti semua barang harus disimpan, lo, karena malah akan membuat bayi jadi tak belajar untuk hati-hati.
ADA KONSISTENSI
Sebenarnya, lanjut Shinto, disiplin secara umum memiliki beberapa syarat. Yang pertama, disiplin akan lebih diterima bila berlaku untuk semuanya. "Jadi, aturan tersebut bukan hanya berlaku bagi anak tapi juga orang tua, karena anak meniru apa yang dilakukan orang-orang di sekitarnya termasuk orang tua." Misal, sebelum makan harus cuci tangan dulu. Kalau si kecil disuruh cuci tangan tapi orang tuanya enggak pernah cuci tangan, maka disiplin tak akan efektif.
"Bayi dalam arti anak setahunan pun bisa memperhatikan hal ini, lo. Misal, bila kita celupkan atau basuh tangan kita di air, ia pasti ingin ikut menirukan." Jadi, contoh itu perlu, ya, Bu-Pak. Hal kedua agar disiplin efektif ialah ada konsistensi. Jadi, sekalipun dalam disiplin ada perkecualian, namun jangan terlalu longgar. Hanya pada saat-saat tertentu saja kita boleh melanggar disiplin, misal, pada saat-saat istimewa. Kalau tidak, pelanggaran disiplin harus disertai konsistensi.
"Tanpa konsistensi, aturan tak akan tertanam." Misal, sudah tiba waktu mandi namun si kecil memilih bermain. Nah, orang tua jangan diam saja atau hanya berkata, "Ayo, mandi" tanpa ada tindakan apapun. "Anak akan belajar, kalau ibu bilang mandi berarti masih bisa ditawar; jadi enggak perlu segera dilaksanakan. Beda jika ibu bilang sekarang mandi dan anak langsung dibawa ke kamar mandi." Kendati masih bayi, si kecil bisa mengerti, lo.
TAK MEMUKUL
Namun dalam menerapkan konsistensi bukan dengan cara memukul, ya, Bu-Pak. Si kecil bukan binatang sirkus yang enggak punya pikiran. Ia tak akan secara otomatis menurut bila dipukul karena setiap dilarang sesuatu, ia malah akan bertanya mengapa sesuatu tak boleh dilakukan. Misal, "Kipas angin itu menarik sekali tapi kenapa aku enggak boleh memegangnya?", atau "Kenapa Kakak boleh main korek api sedangkan aku enggak boleh?" Bagi anak yang belum bisa berbicara dengan benar, ia tak bisa mengungkapkan perasaannya, bukan? "Nah, orang tua suka lupa akan hal ini.
Kadang mereka berpikir, anak adalah orang dewasa. Padahal, segala sesuatu yang dilakukan anak masih belajar. Berjalan pun masih belajar, apalagi berbicara," tutur Shinto. Jadi, tak perlu memaksakan disiplin dengan kekerasan, ya. Bapak-Ibu tentunya tak ingin si kecil jadi seperti robot atau lumba-lumba yang selalu menurut apa yang diminta, kan? Memukul, menurut Shinto, banyak enggak bagusnya. Apalagi kalau memukul anak dengan kuat, bisa membahayakan si anak. Begitupun bila terlalu sering memukul anak, "ambang toleransi anak pada pukulan akan semakin tinggi. Hasilnya, pukulan tak lagi efektif untuk membentuk tingkah laku."
Atau, karena menyakitkan, anak malah jadi benci pada orang yang memukul dan tak ada rasa hormat. Kecuali itu, "anak juga enggak akan jadi bahagia karena merasa tak disayang." Lebih parah lagi, nantinya kalau ia berkeluarga cenderung akan menerapkan cara-cara seperti yang diterapkan orang tuanya. Jadi, Bu-Pak, syarat selanjutnya dalam disiplin adalah sikap empati.
Cobalah menempatkan diri Ibu-Bapak pada posisi anak, bagaimana rasanya pada waktu menjadi anak. Bukan berarti anak boleh melakukan apa saja, lo. Bila ia sudah keterlaluan, orang tua bisa keras tapi enggak melakukan tindakan fisik. "Marah dengan nada keras diperlukan kalau memang anak enggak memperhatikan atau si bayi tengah melakukan hal berbahaya sekali. Jadi, untuk menarik perhatiannya diperlukan nada keras agar ia segera menghentikan kegiatannya yang berbahaya itu." Tapi kalau memukulnya pelan, misal, menyentuh tangan bayi sambil berkata, "Ayo, enggak boleh", menurut Shinto, boleh-boleh saja. Toh, tujuannya untuk memperkuat atau menarik perhatian anak agar ia tak melakukan hal yang berbahaya. Nah, sudah lebih jelas, kan, Bu-Pak?
MENGERTIKAH BAYI BILA DIMARAHI ?
Menurut Shinto, bayi usia 6 bulan bisa memberikan respon seperti terkejut bila orang tuanya marah dengan suara keras. "Hal itu tak akan menyenangkan baginya. Tapi kita tak tahu, apakah yang membuatnya tak nyaman atau menangis adalah frekuensi atau nada suara yang keras ataukah memang perasaan si bayi yang sedih karena dimarahi." Tapi kalau menangis dijadikan sebagai ukuran apakah bayi mengerti bila dimarahi atau tidak, maka jawabannya ya. Yang jelas, kalau orang tua terlalu sering memarahi bayi, saran Shinto, sebaiknya segera berkonsultasi dengan ahli untuk mencari penyebabnya.
"Kadang, orang tua memarahi anak lantaran si anak mirip dengan orang yang tak disenangi." Misal, kita lagi sebal sama pasangan, lalu anak kita yang wajahnya mirip dengan pasangan jadi kena sasaran kemarahan kita. Apalagi bila si kecil mirip dengan mertua yang tak disukai orang tua, duh, kasihan sekali. "Jangan sampai si anak dikatai macam-macam sampai membawa nama orang lain segala. Misal, 'Kamu ini seperti nenek begini-begini,'." Kan, kasihan si kecil yang enggak ngerti apa-apa. Ingat, lo, si kecil enggak salah apa-apa. Jadi, jangan sering dimarahi, ya, Bu-Pak.
Faras Handayani