Si Kecil "Hobi" Lempar Banting Mainan

By nova.id, Minggu, 21 November 2010 | 17:01 WIB
Si Kecil Hobi Lempar Banting Mainan (nova.id)

Bapak-Ibu perlu waspada karena "hobi" yang satu ini terbilang perilaku agresif dan destruktif. Anak harus diajak bicara untuk mengenali sekaligus mengekspresikan perasaan dan keinginannya.

Memasuki bulan-bulan terakhir tahun pertama usianya, si kecil mengalami masa eksplorasi. Coba, deh, Bapak-Ibu perhatikan. Anak-anak seusia ini, kan, gemar sekali melempar atau menjatuhkan mainannya atau apa saja yang dipegangnya.

Awalnya boleh jadi karena didorong rasa ingin tahu yang luar biasa besar. Namun ia kemudian melakukannya berulang-ulang karena kegiatan itu dirasa memberi efek menyenangkan baginya. Bukankah anak akan menunjukkan ekspresi gembira dan kagum setiap kali mendengar suara klenting atau gemerincing mainan jatuh di lantai?

"Nah, kenikmatan ini akan semakin bertambah bila si kecil melihat orang tua atau pengasuhnya memungut benda atau mainan yang dilempar atau dijatuhkannya tadi," tutur Ike Anggraika, Dra. MSI.. "Permainan" lempar-ambil ini sebetulnya merupakan pertanda koordinasi dan kendali pada jemarinya sudah berfungsi. "

Anak menemukan nilai hiburan saat melatih keterampilan menjatuhkan." Namun begitu, sambung pengajar pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini, "Orang tua harus jeli mengamati kapan anak sekadar melempar dan kapan pula ia melempar di luar kebiasaan tadi." Misalnya, dibarengi luapan rasa kesal atau amarah. Bila memang demikian, orang tua harus menyelidiki, kenapa anak sampai harus lempar-banting benda/mainan kala marah atau kesal.

MENIRU

Biasanya, lanjut Ike, anak punya kebiasaan lempar-banting mainan/benda lantaran meniru. Nah, siapa yang ditiru? "Tentunya orang-orang yang berada di lingkungan terdekatnya, dong. Entah ayah yang suka banting pintu atau ibu yang main lempar apa saja kala sedang marah." Begitu pula kakak atau tetangga. Belum lagi tontonan di TV, terutama film-film kartun dan sejenisnya. "Coba, deh, luangkan waktu untuk mengamati film-film kartun yang diputar di TV. Tom & Jerry, contohnya.

Sebetulnya, kan, menampilkan perseteruan yang tak pernah ada habisnya antara si kucing Tom dan Jerry si tikus. Tentu saja lengkap dengan strategi dan cara licik masing-masing untuk mengalahkan saingannya. Nah, ini kan membahayakan sekali," tutur Ike. Jadi, Pak-Bu, bila tak ingin si kecil tumbuh sebagai pribadi yang gemar main lempar-banting, jangan pernah lelah untuk belajar mengerem diri.

Terlebih bila kemarahan seolah tak terbendung lagi. Kalau si kakak yang menjadi "tokoh panutan" bagi si kecil dalam meniru hal-hal yang kurang baik tadi, maka si kakak perlu diajarkan untuk mengenali mana yang baik dan tidak, mana yang boleh dan tak boleh dilakukannya. Tapi kalau tetangga atau orang luar yang menjadi "biang keladi"nya, Bapak-Ibu tak perlu menghabiskan waktu dan enerji untuk "mengajari" mereka. Salah-salah mereka malah sakit hati dan menganggap kita kelewat ikut campur dalam urusan rumah tangga mereka.

Hubungan kita dengan mereka yang semula baik-baik saja, akhirnya jadi runyam. Nggak enak, kan? Lebih aman, anak kita saja yang "diperbaiki". Sementara terhadap tontonan di TV, mudah saja; jangan biarkan si kecil asyik nonton tayangan apa saja dan kapan pun ia menginginkannya tanpa didampingi Bapak atau Ibu. Serta seleksi tayangan yang layak ditontonnya. Begitu, kan, yang kerap dianjurkan para ahli? "Orang tua juga perlu mengalihkan minat dan ketertarikan anak pada hal-hal lain yang lebih bermakna," tambah Ike. Misalnya, menggambar, meskipun masih dalam bentuk corat-coret.

BIJAK MEMILIH MAINAN

Pemilihan permainan yang kurang tepat juga dituding Ike sebagai salah satu faktor pencetus sikap agresif anak. "Mainan sekarang, kan, mayoritas sudah 'jadi', sehingga tak mendorong anak untuk berpikir atau berkreasi. Begitu anak bosan dengan mainan tersebut, ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Nah, apalagi yang paling gampang dilakukan selain membantingnya?" Tak demikian halnya dengan permainan edukatif yang memungkinkan anak asyik berpikir dengan main bongkar pasang. Kalaupun ia bosan dengan bentuk tertentu, toh, ia bisa mencoba alternatif bentuk lain.