Ingin Selalu Sama Dengan Kakak

By nova.id, Rabu, 17 November 2010 | 17:01 WIB
Ingin Selalu Sama Dengan Kakak (nova.id)

Bisa karena si kecil minta perhatian, ingin meniru sang kakak, atau malah lantaran rasa bersaing dengan kakak. Orang tua harus bersikap adil yang proporsional kepada semua anak.

Di usia ini, tak jarang si kecil menuntut untuk selalu diperlakukan sama dengan kakaknya dalam segala hal. Dari jumlah potongan kue, pemberian mainan, sampai baju dan sepatu. Kalau tidak, si kecil langsung protes, "Bunda nggak adil. Kok, Kakak boleh sedangkan aku enggak boleh?"

Bahkan, dalam hal menonton TV pun, si kecil kerap menuntut disamakan dengan kakaknya. Misalnya, si kakak boleh menonton lebih larut daripada dirinya. "Kalau memang acaranya juga baik untuk ditonton si adik, nggak masalah, kok, sebenarnya," ujar S.Z. Enny Hanum .

Orang tua tinggal bilang, misalnya, "Oke, Adik boleh nonton. Tapi janji, besok pagi Adik enggak boleh rewel atau malas bangun kalau dibangunkan. Karena Kakak, walau tidurnya larut malam, namun ia tetap bisa bangun pagi dan enggak rewel. Jadi, kalau Adik sanggup bangun pagi seperti Kakak, Bunda ijinkan Adik untuk menonton TV seperti Kakak." Tapi kalau tayangan tersebut ternyata enggak baik untuk dikonsumsi si adik, Enny minta orang tua harus tegas. "Adik belum bisa melihat acara itu. Lebih baik baca buku sama Bunda, yuk." Jadi, dialihkan perhatiannya.

MINTA PERHATIAN

Menurut Enny, seorang anak ingin diperlakukan sama dengan saudaranya bisa karena ia minta perhatian. Misalnya, si kecil tiba-tiba minta diantar orang tua ke "sekolah", padahal selama ini sehari-harinya ia biasa ikut mobil jemputan. "Nah, orang tua harus jeli, harus bisa mengorek dari sang anak, apakah ia takut ikut mobil jemputan karena ada kawannya yang nakal ataukah sebab lain."

Bila ternyata jawabannya karena kemarin Kakak diantar Papa dan ia tidak, berarti ia ingin minta perhatian yang sama. Menghadapi masalah ini, tutur Enny, orang tua tinggal menjelaskan. Misalnya, "Kemarin Kakak memang perlu diantar karena mobil jemputannya mogok. Kalau mobil jemputannya enggak mogok, Kakak juga enggak akan diantar tapi ikut mobil jemputan seperti Adik. Jadi, kalau Adik mobil jemputannya mogok, Adik juga akan diantar Papa." Jadi, tandas Enny, orang tua harus memberikan pengertian kepada anak.

BERSAING DENGAN KAKAK

Keinginan sama juga bisa didasari oleh sibling atau persaingan antar saudara. Biasanya terjadi kalau jarak usia si adik dan kakaknya cukup dekat. Soalnya, waktu pengasuhan mereka pun tak jauh berbeda. "Yang satu masih disuapi, sudah lahir adiknya yang harus disuapi pula, sehingga perhatian si ibu pun jadi terpecah." Nah, bila hal ini tak dibarengi dengan perlakuan yang fair untuk pikiran mereka, maka orang tua akan dianggap tak adil.

Jangan lupa, lo, fair dalam pikiran orang tua belum tentu sama dengan pikiran mereka. Bisa saja menurut mereka, arti fair adalah baju harus sama, kalau yang satu dibelikan mobil-mobilan maka yang lain harus dibelikan mobil-mobilan juga, dan seterusnya. Sedangkan orang tua melihatnya bukan seperti itu tapi lebih ke peluangnya, misalnya. Itulah mengapa, ketika mereka sudah merasa orang tuanya enggak fair, maka muncullah sifat ingin sama karena ada dorongan persaingan antar saudara.

Bila keluarga tersebut merupakan keluarga kecil dengan sedikit anak, rasa persaingan akan menjadi semakin ketat karena orang tua akan lebih ketat menerapkan aturan, otoritasnya lebih banyak. Biasanya, rasa persaingan dapat terlihat dari munculnya rasa iri si adik. Misalnya, si kakak dibelikan tas dan si adik juga minta dibelikan, padahal baru bulan lalu ia dibelikan tas.

Nah, orang tua harus memberikan pengertian kepada si adik. Misalnya, "Kakak dibelikan tas karena ia sedang membutuhkan tas. Tasnya yang lama sudah rusak. Sedangkan Adik, kan, tidak membutuhkan tas baru karena bulan lalu sudah dibelikan." Jika setelah dijelaskan si adik masih tetap merengek, saran Enny, biarkan saja. Toh, lama-lama rengekannya akan berhenti sendiri.

MENIRU KAKAK

Yang ini justru kebalikan dari rasa bersaing. Si adik ingin sama dengan sang kakak sehingga ia pun meniru kakaknya. Biasanya peniruan dilakukan pada kakak yang telah masuk sekolah. "Kakak yang jauh usianya, sudah punya peer group sendiri, dan aktivitasnya lebih bervariasi, di mata sang adik sebagai suatu keistimewaan tersendiri sementara ia belum punya keistimewaan itu. Jadilah ia ingin seperti kakaknya," tutur Enny.

Melihat si kakak main bola, misalnya, dianggapnya kakaknya itu hero. Melihat pakaian seragam pramuka kakaknya, dianggapnya sebagai sesuatu yang "wah". Makanya sering terjadi, kan, seorang ibu datang bersama sang adik menjemput kakaknya yang latihan pramuka dan si adik mengenakan seragam yang sama padahal ia belum sekolah. Si adik ingin sama dengan kakaknya, ingin memakai seragam pramuka juga. Di mata si adik, pemakaian seragam apa pun pada kakaknya dianggapnya sebagai sesuatu yang "wah". Biasanya, keinginan sama karena meniru terjadi pada jenis kelamin yang sama; adik lelaki dengan kakak lelaki atau adik perempuan dengan kakak perempuan.

Hal ini disebabkan, ia merasa ada kesamaan identitas, kesamaan golongan dengan kakaknya. Namun keinginan sama karena meniru akan memudar dengan sendirinya bila si adik sudah punya peer group. Karena dengan punya peer group sendiri, sosok idealnya juga sudah berbeda. Ia sudah punya pembanding. Bila keinginan sama karena meniru kakak bersifat positif, menurut Enny, sebaiknya orang tua tak menghalangi. "Misalnya, ia ingin memakai seragam pramuka. Nggak apa-apa. Justru bisa mendorong motivasinya untuk masuk sekolah," terangnya.

ADIL YANG PROPORSIONAL

Nah, sekarang sudah paham, kan, Bu-Pak, kenapa si kecil selalu ingin sama dengan kakaknya? Jadi, kalau itu terjadi, cobalah tengok latar belakangnya dulu, lalu berikan pengertian kepadanya. Yang tak kalah penting, berikan keadilan pada anak-anak. Tapi keadilannya harus proporsional, lo, karena adil bagi orang tua belum tentu adil bagi anak. Bagi orang tua, terang Enny, adil itu kalau proporsional atau sesuai kebutuhan masing-masing anak.

Bila si kakak di kelasnya mendapat pelajaran 7 macam, misalnya, maka otomatis ia dikasih 7 buku. Sedangkan si adik, kalau ia hanya mendapat 4 mata pelajaran, maka bukunya pun cuma 4. Jadi, memang jumlahnya tak akan sama. "Tapi bagi anak, mungkin tak demikian. Si adik bisa saja menganggap orang tuanya enggak adil karena ia hanya diberi 4 buku." Untuk itu, si adik perlu diberi penjelasan, "Kakak mendapat 7 buku karena memang Kakak membutuhkan 7 buku. Kakak mata pelajarannya ada 7. Sedangkan Adik, mata pelajarannya, kan, cuma 4. Makanya Bunda kasih 4, karena memang cuma 4 yang Adik butuhkan."

Dengan demikian, si adik akan mengerti mengapa jumlah bukunya dibedakan dengan jumlah buku kakaknya. Apalagi si adik pun sudah mendapatkan kesempatan yang sama dengan kakaknya, yaitu sama-sama mendapatkan kesempatan untuk memperoleh buku. Tentu saja, keadilan yang proporsional harus terus dijelaskan pada anak. Bila ia tak kunjung mengerti karena pemikirannya masih terbatas, maka tugas orang tualah untuk terus menanamkan pengertian itu.

"Yang namanya pemahaman itu, kan, enggak bisa sekaligus tapi memakan proses. Jadi, harus terus-menerus," kata Enny. Hal yang sama juga bisa diterapkan pada sang kakak manakala ia merasa iri karena adiknya saat jalan-jalan lebih sering digendong sementara ia diminta jalan kaki. "Baginya mungkin dirasakan orang tuanya tak adil memperlakukannya. Nah, orang tua harus memberikan pengertian padanya bahwa kebutuhannya memang berbeda. Karena kemampuan jalan adik yang tertatih-tatih, maka ia masih memerlukan digendong, sedangkan kakak sudah bisa berjalan dan berlari, maka tak perlu digendong lagi. Inilah yang dinamakan keadilan proporsional." Jadi, Bu-Pak, berikan peluang yang sama kepada setiap anak. Namun karena kebutuhan setiap anak berbeda, maka berikanlah sesuai kebutuhan masing-masing.

HATI-HATI MEMBERI PUJIAN

  

Ternyata, pujian tak selalu berdampak positif. Bila orang tua selalu memuji-muji sang kakak sementara si adik tak pernah dipuji, maka ia akan meniru kakaknya untuk memenuhi kebutuhannya akan pujian dari orang tua. Itulah mengapa, Enny Hanum wanti-wanti berpesan agar orang tua berhati-hati dalam memberikan pujian. "Kalau si kakak dipuji, ya, adiknya juga harus dipuji, dong. Tapi tentu bukan asal memberi pujian, melainkan harus sesuai dengan posisi si adik," tuturnya.

Misalnya, ia dapat makan dengan bagus dan rapi. Itu, kan, sesuatu yang patut dipuji juga. Jadi, kalau si kakak dipuji, misalnya, "Kakak pintar, deh. Kemarin di pramuka bisa mengikat tali temali dengan mudah. Adik juga pintar, kok. Tadi makannya bagus dan rapi. Mama senang sekali punya anak-anak yang pintar."

Dengan begitu, akan menumbuhkan keyakinan pada si adik bahwa ia punya kemampuan sendiri yang tak selalu sama dengan orang lain atau kakaknya, sehingga ia pun tak akan mengekor kakaknya. Si adik pun akan merasakan perlakuan adil dari orang tua. Kalau tidak, sekalipun ia sudah dibelikan baju dan sepatu yang sama, misalnya, namun ia tetap akan merasa dibedakan. Terlebih lagi bila ia selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya, ia akan semakin merasa diperlakukan tak adil. "Ia bukan hanya ingin meniru sang kakak, tapi juga akan menuntut diperlakukan sama dan menerima sesuatu yang sama dari orang tua."

Dampaknya enggak bagus, lo, buat si adik. "Ia akan merasa tak puas pada dirinya sendiri. Ia tak bisa menerima dirinya sendiri, tak bisa mengembangkan akunya. Akhirnya, ia akan melihat segala sesuatu dari ukuran kakaknya. Padahal, tiap orang, kan, potensinya berbeda," papar Enny. Yang lebih parah, setelah besar ia sulit mengembangkan kepercayaan dirinya. "Ia tak punya konsep diri yang kuat atau kepribadiannya tak tumbuh dengan kuat." Makanya, tekan Enny, orang tua harus hati-hati. "Si kakak boleh dijadikan contoh, tapi orang tua tak boleh membandingkan." Itulah pentingnya orang tua menerima kekurangan dan kelebihan setiap anak. "Mana yang bisa dikembangkan, kembangkanlah. Mana yang memang menjadi cirinya, sebaiknya diterima sejauh itu berdampak positif. Dengan demikian, orang tua menerima seorang anak secara utuh," tutur Enny.

Bukankah perkembangan tiap anak tak akan persis sama? Di situlah keunikan seorang anak. Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk menerima keunikan masing-masing anak. Dengan demikian, anak pun akan merasakan suatu perlakuan yang adil dari orang tua. Ia pun akhirnya akan menerima dirinya sendiri, menerima bahwa saya memang enggak seterampil kakak saya tapi saya punya kelebihan lain, tempo kerja saya lebih cepat dari kakak, misalnya. Ia akan merasakan sebagai pribadi yang tak sama dengan kakaknya, sehingga ia pun tak akan menuntut selalu diperlakukan sama, "Wong, aku berbeda, kok, dengan kakak."

Indah Mulatsih