Setidaknya, demi menjaga hal-hal tak diinginkan semisal inses kala besar nanti, tak ada salahnya anak lelaki dan perempuan dipisah kamar sejak kecil.
Sebenarnya, tutur psikolog Evi Sukmaningrum, tak ada keharusan untuk kakak-adik berlainan jenis kelamin tidur di kamar terpisah. Toh, dengan bertambahnya usia, terutama kala mereka masuk pubertas, dengan sendirinya mereka tak mau lagi tidur sekamar. "Mereka pasti akan risih sendiri karena tidur sekamar dengan saudaranya yang berlainan jenis kelamin."
Disamping, mereka juga merasa jadi tak punya ruang gerak sendiri, "karena semakin bertambah usia, kebutuhan terhadap ruang pribadi akan semakin besar," jelas Evi. Bahkan, kakak-adik yang berjenis kelamin sama pun, setelah besar akan "menuntut" punya kamar sendiri. Bukankah setiap manusia, tak peduli jenis kelaminnya, pasti punya kebutuhan privasi?
BELAJAR MENGEMBANGKAN PRIVASI
Kendati demikian, tak ada salahnya jika Bapak dan Ibu ingin setiap anak punya kamar sendiri sedari kecil. "Bukankah dengan memberi kamar sendiri, kita sekaligus mengajari anak mengembangkan privasinya?" ujar Evi. Anak dilatih bisa merasakan, "Ini adalah kamar saya, hak saya, privasi saya. Yang ada di kamar saya ini milik saya." Dengan begitu, lanjutnya, "sense of belonging anak akan terbentuk."
Selanjutnya, diharapkan anak juga terlatih untuk menghargai privasi dirinya dan orang lain. "Saat ia berada di kamar orang lain, ia bisa menghargai, ini bukan barang miliknya tapi milik adiknya, kakaknya, orang tuanya, serta orang lain." Dengan demikian ia tak akan seenaknya saja terhadap barang orang lain. "Jadi, melatih privasi dan personal space-nya bahwa ia punya ruangan untuk dirinya sendiri," tandas dosen pada Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, ini.
Disamping, tidur terpisah tentunya juga mengajari anak untuk lebih mandiri. "Ia tak akan cemas lagi kalau menginap di mana pun karena sudah biasa harus tidur sendiri." Soal usia, menurut Evi, tak ada patokan. "Kapan pun bisa dipisah tidurnya, karena tidur sendiri di kamar masing-masing cuma masalah kebiasaan." Bahkan, tambahnya, sejak bayi juga sudah boleh punya kamar sendiri. Hanya umumnya orang Indonesia kalau anak masih kecil, tidurnya masih sekamar dengan kakak atau yang lebih sering dengan ayah-ibu.
"Biasanya karena orang tua tak tega membiarkan anak tidur sendiri. Setelah anak dirasa cukup besar, barulah akan dipisah tidurnya di kamar masing-masing." Yang pasti, bila anak sudah mulai bisa berinteraksi dengan orang lain di luar keluarganya berarti mereka sudah punya sense untuk mandiri. "Jadi, ia seharusnya juga sudah bisa untuk tidur sendiri," ujar Evi.
Terlebih lagi bila anak sudah mengenal perbedaan jenis kelamin bahwa dirinya lelaki dan adiknya perempuan, "sebaiknya tidur mereka dipisah." Alasan Evi, demi menjaga hal-hal yang tak diinginkan, misalnya, inses kala besar nanti.
PISAH KAMAR ADALAH HADIAH
Tentunya tak mudah bagi si Buyung dan Upik bila sebelumnya terbiasa sekamar lalu tiba-tiba harus pisah kamar. Pasti mereka akan bertanya-tanya, "Kenapa, kok, sekarang aku dan adik (kakak) harus dipisah tidurnya?" Bila demikian, menurut Evi, orang tua harus memberi pengertian bahwa kini mereka sudah besar, "kalau anak yang sudah besar, kan, harus belajar tidur sendiri."
Itulah mengapa, akan lebih baik bila mereka diberi pengarahan lebih dulu sebelum salah satu pindah kamar. Misalnya, "Kalian akan punya kamar sendiri-sendiri supaya kalian bisa leluasa menyimpan mainan kalian di kamar masing-masing. Juga, biar tidurnya jadi lega." Dengan demikian, ketika salah satu pindah kamar, mereka tak merasa benar-benar dipisahkan tapi justru merasa dikasih "hadiah", yaitu kamar sendiri-sendiri. Jika mereka sampai merasa dipisahkan, terang Evi, mereka akan merasakannya sebagai beban sehingga "acara" pisah kamar jadi tak lancar.