Memang, sih, punya anak yang gemuk kelihatan lucu dan menggemaskan. Tapi tahukah Bapak-Ibu, kelebihan berat badan bisa mengundang berbagai penyakit, dari diabetes sampai jantung. Jadi, waspadalah!
Sejak bayi Reza memang tampak gemuk. Pipinya tembem dan dagunya pun berlipat-lipat. Semula orang tuanya tak terlalu mencemaskan keadaannya. Masalah mulai muncul ketika Reza mulai masuk play group.
Ia selalu menarik diri setiap acara olahraga. Bahkan, bermain yang bersifat aktivitas fisik, seperti memanjat tangga, melompat-lompat, atau berlarian. Pasalnya, badannya yang subur sangat menghambat aktivitasnya. Belum lagi ia pun kerap diledek teman-temannya, "Uuh... kalau kamu melompat-lompat, dunia mulai bergoyang."
Memang, terang dr. Harmon Mawardi, Sp.A dari segi kesehatan berat badan berlebihan menandakan sesuatu yang tidak sehat. Pendapat ini jelas berbeda dengan yang selama ini berkembang di masyarakat, gemuk itu menggemaskan, lucu, dan berarti sehat. Bukan begitu, Bu-Pak? Malah yang sering terjadi, kan, justru orang tua sibuk membanding-bandingkan berat badan anaknya dengan anak lain.
Begitu berat badan anaknya tidak segemuk dengan anak lain, langsung mencap anaknya kurang sehat atau kurang gizi. Tak heran bila kerap terdengar keluhan dari para ibu, "kok, anakku tidak segemuk anaknya Ibu anu, ya?" Betul, kan? Padahal, Bu-Pak, berat badan anak itu bila ingin ideal, diukur dan dihitung berdasarkan berat badan seimbang dengan tinggi badan, berat badan seimbang dengan usia, dan tinggi badan sesuai dengan usia.
Jadi, bukan dibanding-bandingkan dengan anak lain. Sedangkan anak dikatakan kegemukan atau obesitas, lanjut Harmon, apabila anak kelebihan berat badan akibat penumpukan lemak di atas 20 persen dari berat ideal. "Anak tidak dikatakan obesitas jika kelebihan berat badannya karena hal lain, misalnya, tulang belulangnya yang memang berukuran besar dan berat." Lebih detilnya, tukas Harmon, "Misalnya, berat badan normal anak yang berusia 1 tahun adalah 9 kg. Badan anak masih dianggap normal bila beratnya antara 7,5-11 kg. Nah, anak baru tergolong obesitas bila berat badannya lebih dari 13 kg."
FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL
Nah, Bu-Pak, obesitas bisa terjadi karena dua faktor; internal (endogen) dan eksternal (eksogen). "Faktor internal terjadi disebabkan heredokonstitusional, yaitu sifat-sifat yang sudah dimiliki anak tersebut secara konstitusional atau merupakan warisan dari orang tuanya. Sifatnya genetik lah," terang Harmon.
Karena itu bila kedua orang tuanya gemuk, anaknya memiliki kemungkinan menjadi gemuk sekitar 80 persen. Bila salah satu yang gemuk, risiko anak menjadi gemuk sebanyak 40 persen dan hanya 7 persen bila kedua orang tuanya tidak gemuk. Berikutnya, faktor eksternal. Biasanya ini berkaitan dengan perilaku dan pengaruh lingkungan. "Dalam hal ini yang berkaitan dengan pola makan anak," ujar Harmon.
Kebiasaan keluarga, terutama orang tua, sangat mempengaruhi anak. Misalnya saja, bila orang tua tidak memperkenalkan pada anak variasi makanan yang beragam, maka anak hanya akan mengenal makanan yang itu-itu saja. Jadi, jangan heran jika kemudian anak menolak makanan tertentu. Apalagi sekarang trend yang berkembang di masyarakat kita adalah pola makan tinggi lemak sedikit serat. Trend ini sangat memacu kenaikan obesitas pada anak. Kenyataannya, diakui Harmon, bila dilihat dari latar belakang penyebabnya, obesitas lebih sering terjadi karena faktor primer, yaitu makan yang berlebihan. "Artinya, jumlah energi yang dikonsumsi melebihi kebutuhan." Kondisi ini bisa terjadi sejak bayi baru lahir. Tentu saja lebih sering terjadi pada masa pertumbuhan.
"Sedangkan yang sekunder berhubungan dengan akibat suatu kelainan tertentu yang menyebabkan gangguan hormonal," jelas Harmon. Seperti kelainan kelenjar tiroid. Atau bisa juga terdapat kelainan pada otak yang mengganggu fungsi kontrol untuk kenyang. Sehingga anak makan dalam jumlah yang sangat berlebihan. Namun, yang perlu diperhatikan, Bu-Pak, obesitas tidak selalu berarti kelebihan gizi.
Yang harus dikhawatirkan justru terjadinya kegemukan ganda. Anak kelebihan berat badan sekaligus ia kekurangan zat gizi tertentu, seperti protein dan vitamin. Pasalnya anak terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung lemak dan karbohidrat, tapi miskin protein, mineral, dan vitamin.