Lantas, apa saja risiko mengonsumsi junk food? Yang jelas, kalau kebanyakan gula, ujung-ujungnya bisa terkena diabetes. Diabetes merupakan penyakit paling jahat dengan segala komplikasinya, yang berisiko penyakit jantung, stroke, ginjal, dan sebagainya.
Konsumsi garam dalam jumlah besar dan lama juga bisa menimbulkan berbagai penyakit, seperti hipertensi, jantung, stroke, dan beberapa jenis kanker. Belum lagi zat-zat pengawet yang juga bisa memicu kanker. "Konsumsi minyak jenuh juga berhubungan dengan penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis), yang ujung-ujungnya stroke dan jantung juga," kata David.
Kenalkan Makanan Sehat
Bagaimana dengan anak-anak? Rasanya, dewasa ini junk food sudah menjadi sajian sehari-hari kebanyakan anak usia sekolah. Padahal, anak-anak sebetulnya sangat tidak dianjurkan mengonsumsi makanan junk food.
Anak-anak memiliki usia hidup yang lebih panjang daripada orang dewasa. Kalau selama masa hidupnya yang lebih panjang itu anak-anak mengonsumsi junk food lebih banyak dan lama, maka risiko kesehatan pun akan muncul, meski dalam jangka panjang. "Orang berusia 50 tahun paling hanya makan junk food selama beberapa tahun. Beda dengan anak usia 10 tahun. Kalau ia makan junk food terus sampai usia 50 tahun, berarti selama 40 tahun ia makan junk food. Tentu risiko terkena berbagai penyakit lebih besar," lanjutnya.
Anak-anak suka makanan junk food karena rasanya yang spicy (pedas dan gurih). "Rasa spicy ini karena dimasukkan banyak bumbu ke dalamnya. Tinggi garam, banyak gula, dan banyak lemak. Belum lagi zat perasa dan zat pengawet lain. Ini menghasilkan rasa yang artifisial," kata David sambil menambahkan banyaknya faktor yang menyebabkan anak mengonsumsi junk food. "Bisa jadi, orang tua tahu bahwa makanan yang disajikan tidak sehat, tapi karena kesibukan, sampai rumah sudah capek, lalu tidak mungkin lagi menyiapkan makanan sehat yang slow food. Jadi, faktornya banyak, mulai lingkungan sampai kebiasaan di keluarga," tambahnya.
Untuk menghindarkan anak-anak dari junk food, sejak kecil sebaiknya mereka dikenalkan dengan makanan sehat. Misalnya, membiasakan anak makan sayur dan buah. Tak perlu buah impor, buah lokal pun bagus. "Orang tua juga harus memberikan contoh, jangan menyuruh anak makan sayur, tapi mereka sendiri tidak," terang David.
Vitamin sebagai suplemen bisa diberikan, meski bukan keharusan. Kalau makanan yang disajikan sudah lengkap, vitamin sebetulnya tidak diperlukan. Kecuali pada kondisi tertentu, misalnya anak sakit, kelelahan, dan sebagainya.
Harus Seimbang
Bagaimana dengan makanan-makanan daerah/tradisional? Umumnya, makanan tradisional masih jauh lebih sehat ketimbang junk food. Namun, beberapa jenis masakan harus diwaspadai karena mengandung banyak lemak dan santan. Salah satu contohnya adalah masakan Padang.
"Ya, harus seimbang, jangan terlalu banyak santannya. Kalau terlalu banyak santan, akhirnya makanan menjadi tidak sehat. Sayurnya juga jangan dilupakan. Sebetulnya makanan lain, seperti ayam goreng, juga harus dikurangi lemaknya," kata David sambil menekankan perlunya menyajikan menu sehat.
Menu sehat adalah menu dengan gizi seimbang, seperti yang terdapat dalam piramida makanan. Di dalamnya tercakup antara lain karbohidrat, bisa dari nasi, kentang, ubi, mi, dan sebagainya. Kemudian, harus ada sayuran dan buah-buahan segar. Lauknya harus mengandung protein, protein hewani, nabati, maupn susu. Protein hewani m isalnya daging, telur, ayam, ikan. Sementara protein nabati misalnya kacang-kacangan (tempe dan tahu), serta keju atau yogurt sebagai sumber protein susu. "Gunakan minyak, garam, dan gula secukupnya. Sedikit saja, tak perlu semua makanan diberi garam," jelas David.
Hasto Prianggoro
foto-foto: gettyimages