Sudah Menganggur, Suami Hobi Berjudi

By nova.id, Selasa, 18 Agustus 2009 | 23:38 WIB
Sudah Menganggur Suami Hobi Berjudi (nova.id)

Ibu Rieny yang terhormat, Saya wanita 31 tahun, bersuamikan pria 33 tahun. Kami menikah baru dua tahun. Kata orang, usia pernikahan 1 ­ 5 tahun memang merupakan masa­masa kritis bagi pasangan suami-istri, karena banyak penyesuaian dan kendala yang harus diatasi. Namun, rasanya setahun terakhir ini menjadi masa yang paling sulit bagi saya. Masalah­masalah datang tidak kunjung mereda. Jalan keluar pun tak ada, malah makin menjadi-jadi. Semua ini berawal setahun lalu ketika suami memutuskan berhenti dari pekerjannya lantaran stres dan tekanan yang ia rasakan di tempat kerjanya. Ditambah, tak adanya dukungan dari bos-nya. Setelah beberapa bulan di rumah, suami rupanya mulai terpengaruh ibunya (kami masih tinggal di rumah mertua karena tidak mampu beli rumah sendiri) yang hobinya main judi buntut. Hampir tiap hari, yang terdengar di rumah hanya masalah nomor dan nomor saja. Berulangkali saya menasihati suami, tapi ia berdalih keuntungan yang ia peroleh bisa digunakan untuk menutupi kebutuhan sehari­hari, untuk belanja, serta membayar listrik bulanan yang harus kami tanggung, sementara penghasilan saya dari bekerja di dua tempat bisa ditabung. Begitu katanya. Namun, begitu menang, uang yang ia peroleh tak juntrung larinya. Diberikan pada ibunyalah, kakaknyalah, atau dibelanjakan sesuatu yang tidak berguna sama sekali. Kalau saya ingatkan, ia selalu menganggap saya pelit, tidak mau membantu keluarganya. Akhirnya, saya capek sendiri Bu, berniat baik dengan mengingatkannya, tapi justru saya sendiri yang kena. Puncaknya terjadi beberapa hari lalu, ketika ia kalah jutaan rupiah, dan bermaksud meminjam uang tabungan saya (uang itu yang selama ini saya irit untuk persiapan jika kelak kami punya anak, yang sudah amat saya rindukan kehadirannya). Ia menghiba sambil menangis dan menyatakan penyesalannya, tapi hingga detik ini tetap saja tak mau menghentikan kebiasaaannya itu. Tak tahu lagi apa yang harus saya kerjakan, Bu. Mau ngomong sama keluarga saya tidak bisa, karena selama ini mereka tidak tahu apa yang terjadi (saya menutupi keadaan suami dan keluarganya supaya mereka tidak dipandang rendah oleh keluarga saya, karena kondisi ekonomi keluarga saya memang lebih baik daripada suami). Saya betul-betul bingung, rasanya ingin lari tapi tidak tahu harus lari kemana!

Keadaan di rumah mertua semakin lama juga semakin menekan saya. Kami tinggal bersama mertua. Ibunya seorang wanita yang setiap sibuk dengan pekerjaan rumah tangga, selain membeli nomor sambil tak henti-hentinya mengomel dan berbicara sendiri sepanjang waktu. Bahkan, saat tidur pun dia mengigau/teriak-teriak sendiri (emosinya sangat labil).

Ayahnya seorang yang egois, suka menghina orang. Bicaranya sedikit, tapi sekali ngomong cukup menyakitkan. Beliau tidak pernah menghargai apa pun yang dilakukan suami. Bagi dia, anaknya hanya satu, yaitu kakak suami. Bahkan ketika suami berhenti kerja dan bermaksud berwiraswasta di rumah, ia tidak mengizinkan dengan alasan dialah yang berkuasa di rumahnya.

Setiap bulan kami juga membantu uang belanja dan bayar listrik, tapi tidak pernah dihargai. Bagi suami, ini tidak masalah, karena baginya membantu orang tua tanpa pamrih adalah kewajiban. Bu, saya tidak menuntut balas dari mereka, tapi setidaknya mereka bisa memahami keadaan kami dan memberi sedikit ruang gerak, kan?

Bisa Ibu bayangkan, kehidupan seperti apa yang saya rasakan di rumah ini. Berangkat kerja pagi dan pulang sore, saya langsung masuk kamar semalaman, hanya demi menghindar dari kebiasaan-kebiasaan keluarganya yang saya tidak senangi. Rasanya capek sekali, Bu. Lahir batin saya selalu harus mengalah dan menyenangkan orang lain. Padahal, keinginan saya sederhana saja kok, cuma pengin punya anak perempuan yang sehat (kami berdua mengidap sejenis virus yang akan berisiko jika saya punya bayi, sementara pengobatannya butuh biaya tinggi) dan punya rumah sederhana untuk kami bertiga kelak.

Bagi prang lain, keinginan itu rasanya bukan soal sulit, tapi bagi kami rasanya kok mustahil. Tolong Bu, beritahu apa yang harus saya lakukan untuk keluar dari permasalahan ini. Terima kasih.

Ny.X - Y