Ketika disodori game terbaru yang menyajikan permainan sepakbola, Keenan ogah-ogahan memainkannya. "Ada apa, ya, dengan anakku?" gumam Aprilia dalam hati. Edo pun khawatir anak lelaki satu-satunya akan berperilaku seperti perempuan.
Hmm, pengalaman di atas mungkin saja terjadi kepada keluarga kecil Anda. Selama ini memang masih ada orangtua yang kebingungan dalam mengasuh anaknya, terutama karena perbedaan jenis kelamin.
Sebagian orangtua menganggap anak lelaki dan perempuan tak perlu dibedakan, namun tak sedikit juga yang berpendapat, cara mengasuh anak harus disesuaikan dengan jenis kelaminnya. Daripada berputar-putar dalam kebingungan, lebih baik ikuti penjelasan dari Dra. Rahmitha P Soendjojo, Psi, pemerhati pendidikan anak usia dini dari Universitas Negeri Jakarta, mengenai cara mengasuh anak lelaki dan perempuan. Beda Otak & Syaraf Menurut wanita yang akrab disapa Mitha ini, sebenarnya memang terdapat perbedaan dalam mengasuh anak yang berbeda jenis kelamin. "Jika mengacu pada beberapa penelitian tentang struktur otak dan sistem syaraf, memang ada perbedaan dalam pengasuhan anak anak laki-laki dan perempuan," urai wanita yang aktif di Himpunan Pendidik & Tenaga Pendidikan Anak Usia Dini Indonesia (HIMPAUDI) ini.
Pendapat ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Michael Gurian, penulis buku Boys and Girls Learn Differently!, memang ada perbedaan ukuran bagian otak antara anak lelaki dan perempuan. Hal inilah yang lalu mempengaruhi cara kerja otak, misalnya pada kemampuan spasial dan bahasa.
"Maka, anak lelaki cenderung diam ketika mempelajari sesuatu, sementara anak perempuan lebih mudah paham jika melakukannya sambil berbicara," urai Michael dalam bukunya.
Begitupula dari segi emosi, di mana anak laki-laki memiliki lebih sedikit syaraf yang berhubungan dengan emosi dibandingkan anak perempuan. Sehingga, kebanyakan perempuan lebih sensitif dibanding laki-laki.
Akibat perbedaan struktur otak dan syaraf tadi, memang sah-sah saja jika pengasuhan anak sebaiknya dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Namun, Mitha mengingatkan, selama ini perbedaan pengasuhan yang terjadi lebih sering terjadi akibat faktor budaya.
Terlepas dari faktor tadi, hal terpenting dalam mengasuh anak justru terletak pada bagaimana orangtua memenuni kebutuhan fisik dan pengembangan sosial emosi anak. Seperti menyediakan makanan dan minuman berasupan gizi tinggi agar anak dapat tumbuh sehat, serta memberikan kebebasan yang bertanggung jawab sejak dini.
"Kunci lainnya, mengembangkan kemampuan kognitif (intelektual) dan bahasa," ujar alumni Universitas Padjadjaran ini. Semua itu tentu saja harus dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi agar hasilnya memuaskan. "Sebab, secara umum tak ada perbedaan dalam aspek yang harus dikembangkan bagi anak perempuan maupun anak lelaki," lanjut Mitha.Memilih Mainan Lantas bagaimana memilih mainan untuk anak, sebab pada usia dini, anak belajar mengasah kemampuannya melalui mainan? Ternyata, secara psikologis anak di usia yang masih sangat muda sekalipun sudah memiliki kesadaran dalam memilih mainan, lho.
"Anak berusia di bawah 5 tahun, dengan sendirinya akan mulai memiliki preferensi dalam bermain. Anak laki-laki akan memilih mainan untuk laki-laki, dan anak perempuan memilih permainan perempuan," urai konsultan pendidikan ini.
Apabila dihubungkan dengan struktur otak dan syaraf, anak perempuan yang lebih peka secara emosi dibanding anak laki-laki, akan memilih mainan yang memungkinkan dirinya berinteraksi, seperti boneka. Sebaliknya, laki-laki lebih tertarik dengan mainan yang berbau kekuatan dan persaingan, seperti bermain bola atau perang-perangan.
Namun, jika anak memilih mainan di luar tradisi, sudah seharusnya orangtua tak memaksakan kehendaknya. Sekalipun orangtua memilah permainan yang dilarang dan tidak, alam bawah sadar dan pengaruh lingkungan sang anak dengan sendirinya akan memiliki pengaruh lebih kuat.
Jika selama ini, sudah terbentuk pandangan mengenai pilihan mainan bagi anak, menurut Mitha, ini disebabkan, lagi-lagi, oleh pengaruh budaya, "Yang salah bukan pada mainan yang tak sesuai dengan gender sang anak, tapi lebih kepada apakah anak paham identitas seksualnya atau tidak," tegas Mitha.
Pengaruh budaya tadilah yang akhirnya mempengaruhi pandangan orangtua, seandainya anaknya bermain dengan mainan yang dianggap tak sesuai jenis kelaminnya. "Orangtua khawatir jika perilakunya berubah. Tapi yang harus diperhatikan justru bagaimana anak mengetahui identitas seksualnya."
Nah, agar tak salah kaprah, langkah yang harus dilakukan justru dengan mengenalkan segala jenis permainan kepada anak. "Tak mengapa anak lelaki bermain boneka, masak-masakan, dan lainnya atau anak perempuan bermain bola dan panjat pohon. Itu berguna untuk kehidupan mereka di saat dewasa kelak," jelas Mitha.
Jadi, tak ada salahnya anak perempuan bersikap tangguh, semata-mata sebagai perlindungan diri. Dan anak lelaki memiliki keahlian memasak, karena suatu hari kemampuan ini akan berguna, misalnya ketika ia mulai hidup mandiri.
Astrid Isnawati
Foto: Agus Dwianto/NOVA