Ingin Jadi Superhero

By nova.id, Sabtu, 4 September 2010 | 17:18 WIB
Ingin Jadi Superhero (nova.id)

Ingin Jadi Superhero (nova.id)

"Iman/nakita "

Hal ini terjadi karena usia prasekolah merupakan masa dimulainya proses belajar sosial dan moral pada anak. Begitu kata psikolog Dra. Ninik Bawani dari RS International Bintaro. Jadi, anak belajar, oh, ternyata tokoh hero itu sesuatu yang baik, yang suka menolong orang. "Ia belajar mana yang bagus dan jelek."

TERGANTUNG LINGKUNGAN

Sebenarnya, terang Ninik, persepsi anak tentang baik-buruknya seorang tokoh sangat dipengaruhi opini lingkungannya. "Lingkunganlah yang berpersepsi bahwa tokoh Panji itu bagus, sehingga anak pun ikut berpikir demikian. Begitu juga kalau lingkungannya mengatakan, sebetulnya Panji tak bagus, maka anak pun akan berpikir demikian."

Nah, karena tokoh tersebut dianggap baik inilah, maka ia pun mengikuti pola tersebut. Selain itu, sepak terjang para jagoan supernya pun menjadi daya pikat tersendiri, karena menjadi semacam simbol dari kekuatan. "Anak-anak usia ini merasa dirinya sebagai mahkluk yang lemah. Nah, dengan meniru adegan-adegan yang dilakukan para jagoannya, ia merasa dirinya sama kuatnya dengan mereka. Jadi, ada kaitannya dengan proses identitas dirinya," papar Ninik.

Disamping, peniruan tokoh juga ada kaitannya dengan pujian. Bukankah pada dasarnya setiap orang senang dipuji? Nah, anak-anak juga begitu. "Dengan membawakan dirinya sebagai tokoh heronya, maka ia pun ingin banyak dipuji orang." Terlebih lagi bila sekelilingnya selalu bilang, "Oh, hebat, ya, tokoh Panji/Saras," sehingga ia pun ingin dibilang hebat. Jangan lupa, anak-anak selalu ingin dianggap hero, kuat dan hebat. Jadi, tukas Ninik, apakah anak akan memilih tokoh heroik sebagai idolanya sangat tergantung pada lingkungannya. Karena dalam proses belajar ini, anak masih gampang dipengaruhi. Kalau sekelilingnya bilang bagus, maka dia pun akan menganggap bagus pula.

DAMPINGI DAN ARAHKAN

Tapi jangan salah, lo. Tak setiap anak suka menonton film-film hero lantaran ia menyukai si tokoh superheronya, melainkan karena si tokoh suka berantem. Jadi, berantemnya yang disukai oleh anak. "Biasanya ini terjadi pada anak yang mempunyai sifat agresif," ujar Ninik.

Nah, bila si kecil Anda mempunyai sifat agresif, saran Ninik, sebaiknya sesedikit mungkin menonton film-film yang menampilkan agresivitas. Soalnya, film-film tersebut akan makin mendorong menjadi kian agresif. Apalagi anak agresif, umumnya meniru agresivitas dari si tokoh hero, bukan kepahlawanannya. Namun begitu, bukan berarti Ibu dan Bapak lantas melarang si kecil sama sekali menonton film-film tersebut. Ini bukanlah cara yang bijaksana, karena anak akan minder dan merasa tak bisa ikut bagian kala teman-temannya memperbincangkan film tersebut.

Yang terbaik, saran Ninik, orang tua mendampingi anak kala menonton film ini sehingga bisa mengarahkan anak; terlebih bila si anak suka berkelahi. Katakan kepadanya, "Tuh, lihat Saras/Panji; dia berantem-antem untuk menolong orang lain yang lemah. Jadi, kamu kalau berantem itu hanya sekadar untuk menolong orang lain, kalau ada yang menyerang kamu, yang jahat sama kamu. Tapi kalau enggak ada orang yang jahat, kamu jangan berkelahi."

Jadi, tandas Ninik, tugas orang tua sebagai mediator untuk menerangkan kepada anak mengenai fungsi berkelahi. Karena dalam menonton film, belum tentu persepsi orang yang menontonnya bisa sama. Begitu juga bagi anak. Orang tualah yang bertugas mengarahkan persepsi anak. Kalaupun orang tua tak sempat mendampingi anak, ujar Ninik, mereka tetap harus meluangkan waktunya untuk sesekali menonton film itu. "Kalau tahu anaknya mengidolakan Superman, maka orang tua juga harus menonton film Superman tersebut." Dengan demikian orang tua tahu bagaimana cerita film itu, sehingga bisa memasukkan nilai-nilai moral atau sosial pada anak, "Tadi, kan, begini ceritanya. Nah, yang itu enggak bagus, yang ini bagus. Yang enggak bagus kamu jangan tiru, ya?"

Bila orang tua sama sekali tak sempat menonton, misalnya, karena masih di kantor kala film itu diputar, maka tanyai si anak tentang cerita film yang ditontonnya. Dengan begitu, orang tua bisa tahu persepsi anak tentang tokoh idolanya. Misalnya, si Buyung suka Superman karena bisa terbang dari tempat tinggi. Nah, jelaskan kepadanya, yang bisa terbang itu apa saja; burung, pesawat, kelelawar, dan sebagainya. Sedangkan kita, manusia, enggak bisa terbang. Lalu ajak si Buyung untuk membuktikannya, "Yuk, sekarang kita coba, pakai baju Superman terus terbang." Tapi tentunya bukan dengan meminta anak untuk mencoba terbang dari tempat tinggi, melainkan dari tempat rendah. "Nah, bisa terbang nggak? Enggak bisa, kan? Superman memang bisa terbang tapi enggak semua orang bisa terbang." Dengan orang tua memberikan pengarahan seperti itu, menurut Ninik, setidaknya bisa mencegah bahaya dari peniruan si anak.