Agar Kakak Sayang Adik

By nova.id, Jumat, 3 September 2010 | 17:52 WIB
Agar Kakak Sayang Adik (nova.id)

Tapi bila orang tua selalu menyempatkan diri untuk main bersama anak-anak, mengajarkan berbagi antara kakak-adik, maka anak-anak pun lama-lama akan terbiasa dengan hal demikian. Bahwa kemudian terjadi juga pertengkaran antara kakak-adik tentulah bisa dipahami. Soalnya, anak usia prasekolah egonya masih tinggi, walaupun ada juga yang sudah mereda egoisnya dan mulai bisa sharing. Jadi, ujar Retno, tak usah heran bila menjumpai si kakak tak mau berbagi mainan dengan adiknya atau mengajaknya main bersama. "Yang penting orang tua terus mengajarkan kasih sayang, berbagi, dan tanggung jawab pada anak-anak."

Disamping, tentunya orang tua juga perlu menerapkan aturan terhadap kakak dan adik. Misalnya, kakak tak mau berbagi mainan dengan adik. "Pertama kali kita harus lihat, mainan itu milik siapa. Juga, mainan itu sedang dimainkan oleh pemiliknya atau tidak. Bila si kakak sedang memainkan mainan itu dan adiknya ingin main pula, maka si adik harus menunggu sebentar sampai kakaknya selesai main," tutur Retno. Bisa juga dengan meminta izin dari si kakak, "Kak, boleh enggak Adik pinjam mainannya?" Bila ia menjawab, "Mainan ini, kan, punyaku," tanyakan lagi, "Sampai berapa lama Kakak akan main? Sesudah itu, bolehkah Adik pinjam? Nah, ini lihat jam, Kakak main sampai jarum panjang jam terletak di angka ini, ya? Habis itu Adik boleh pinjam."

KONSEKUEN

Jadi, tandas Retno, orang tualah yang harus membuat aturan. Jangan sampai orang tua malah langsung memarahi si kakak, "Kamu, kan, kakaknya. Harus mengalah, dong!" Bila demikian, si kakak akan merasakan ketidakadilan dari orang tua. Bukankah si kakak juga punya hak pribadi yang sama seperti si adik?

"Kita saja kalau sedang asyik baca koran atau buku, lalu tiba-tiba ada yang merebut, kan, jadi marah. Nah, demikian juga anak-anak." Aturan ini juga bisa dibuat menyangkut masalah disiplin dan tanggung jawab pribadi. Misalnya, usai bermain harus membereskan mainannya, sebelum tidur gosok gigi, atau menaruh sandal dan sepatu di tempatnya jika masuk ke rumah, dan sebagainya. Namun aturan sebaiknya tak panjang-panjang mengingat usianya masih balita.

"Tentu saja, bila sudah membuat aturan harus dijalani dengan konsekuen. Jangan malah orang tua sendiri yang melanggar aturannya," lanjut Retno. Misalnya, aturan boleh menonton TV setelah mandi. Bila si anak tak mandi, ya, jangan nyalakan TV. Jangan sampai, anak belum mandi tapi karena orang tua ingin nonton telenovela, maka dinyalakan juga TV-nya. Tapi bila si anak sendiri yang melanggar aturan, menurut Retno, orang tua bisa menerapkan konsekuensi. Misalnya, adik boleh pinjam mainan kakak tapi setelah selesai main harus dibereskan. Nah, kalau ia tak mau membereskannya, katakan, "Nanti Adik tak boleh main mainan Kakak lagi, lo."

Dengan demikian tanggung jawab pun tak melulu milik kakak, tapi sang adik pun tetap harus bertanggung jawab pula atas segala perbuatannya. Jadi, konsekuensinya dalam bentuk mengingatkan, bukan hukuman. "Meskipun hanya diingatkan, anak juga akan tergerak memperbaikinya, kok," ujar Retno. Hanya memang, lanjutnya, kebanyakan orang tua cenderung kurang sabar. "Dikiranya kalau anak sudah sekali diberi tahu akan langsung mengerti. Anak, kan, tak bisa seperti itu. Ia harus terus diingatkan." Selanjutnya, bila anak sudah melakukan seperti apa yang kita inginkan, berilah rewards semisal pujian, "Wah, anak Mama memang hebat, deh!" Sudah paham, kan, Bu-Pak! 

BERANTEM PUN BAGUS, KOK!

 

Orang tua biasanya tak senang bila kakak-adik bertengkar. Memang tak baik juga dampaknya bila pertengkaran lebih sering terjadi. Tapi kalau hanya sekali-kali malah bagus, lo. "Mereka bisa solve their problem menurut aturan mereka sendiri," ujar Retno. Karena itulah, Retno minta orang tua sebaiknya jangan terlalu reaktif dan langsung intervensi kala si kakak dan adiknya bertengkar.

"Lihat dulu apa permasalahannya, apakah mereka bisa menyelesaikannya sendiri atau tidak." Tak jarang, salah satu akan mengadu lebih dulu kepada ayah atau ibunya. Nah, manfaatkan kesempatan ini untuk menanyai mereka, "Kenapa bisa begitu?" Lantas carilah jalan keluarnya. "Namun dalam menanyai, sebaiknya harus dua-duanya. Bila mereka teriak-teriak menangis, raih si victim (korban, red) dalam pelukan dan ajak yang satunya duduk di sebelah orang tua sambil ditanyai satu per satu." Dengan begitu, anak pun akan belajar bagaimana cara mencari jalan keluar bila tengah menghadapi masalah. Indah

Indah Mulatsih /nakita