Karena masih bayi, kerapkali orang menganggap pancaindranya belum berfungsi. Padahal, tak demikian. "Sejak lahir pun pancaindra bayi relatif sudah baik sehingga bila ada kelainan bisa cepat terdeteksi," kata dr. Hermawan Suryadi, DSS. Nah, bagaimana sebenarnya perkembangan kemampuan pancaindra bayi, yuk, kita simak bahasan ahli saraf dari RSAB Harapan Kita, Jakarta ini.
1. Indra Penglihatan
Pada umumnya, bayi sejak lahir sudah dapat melihat walaupun masih terbatas hanya pada skala besar. Artinya, bayi dapat melihat secara kasar atau makro, tapi tak terlalu detail atau fokus. Misalnya, bayi sudah dapat mengenali bentuk wajah seseorang, apakah bermuka bulat, lonjong, dan sebagainya.
Layaknya orang yang menggunakan kaca mata minus, bila ia membuka kaca matanya ia tahu bahwa orang itu adalah si Ani, Tuti, dan lainnya, tapi ia tak akan bisa melihat bila di hidung Ani ada bisul, misalnya. Secara naluri, pada jam-jam pertama bayi lahir, ia sudah dapat menggerakan bola matanya untuk melihat lingkungannya. Ia bisa melihat secara garis besar. Pada minggu-minggu pertama pun ia sudah dapat membedakan warna gelap dan terang seperti hitam dan putih atau merah dan hijau, namun ia belum dapat melihat warna-warna kelabu.
Dalam 2 minggu pertama kehidupannya, ia sudah dapat mengenali wajah ibu. Menjelang akhir bulan pertama, ia sudah bisa berkonsentrasi dengan menatap mata orang yang berbicara dengannya. Jadi, misalnya, sang ibu mengajak bicara, ia sudah bisa menatap mata ibunya. Terbukti, bila ada suatu benda yang bergerak menuju arahnya, kepala bayi akan mengelak ke belakang. Ini membuktikan bayi sudah melihat pada bulan pertama. Sewaktu mendengar suara juga ia akan menengok dan menatap sumber suara itu.
Sejalan dengan bertambahnya usia, penglihatannya pun makin maju. Setelah usia tiga bulan, misalnya, setiap ada benda di dekatnya, ia akan berusaha meraih. Ini menunjukkan, selain dapat mengenali benda, ia juga sudah dapat melihat benda tersebut. Bila benda yang ada terus hilang, ia akan mencarinya. Selanjutnya, penglihatan bayi berkembang sangat cepat. Namun demikian, ada juga bayi yang mengalami kelainan penglihatan sejak lahir. Hal ini bisa dideteksi lewat pemeriksaan, apakah kelainan mata terjadi di kornea, lensa mata, ataukah retinanya. Dengan demikian, dokter bisa mengetahui apakah korneanya keruh, lensanya keruh, atau saraf retinanya tak terbentuk. Sayangnya, hanya kelainan pada kornea dan lensa saja yang masih bisa diperbaiki.
Kelainan pada kornea bisa diperbaiki dengan tranplantasi kornea dan kelainan lensa dilakukan dengan implan lensa. Sedangkan kelainan di retina, sampai sekarang belum ada operasi untuk menggantikan retina. Itu artinya, bayi akan mengalami kebutaan. Kelainan penglihatan lainnya ialah buta warna dan mata juling. Buta warna bisa disebabkan faktor keturunan ataupun bawaan lahir. Jadi, tergantung gennya.
Namun begitu, tak selalu bayi akan mengalami buta warna bila ibunya menderita buta warna. Hal ini tergantung, apakah gen si ibu bersifat dominan atau tidak. Bila dominan, berarti bayinya pasti akan buta warna. Tapi bila gennya tak dominan, kemungkinan bayinya tak akan menderita kelainan tersebut. Buta warna biasanya baru bisa terdeteksi setelah anak mencapai usia prasekolah. Tak demikian halnya dengan mata juling, sudah bisa diketahui orang tua setelah bayi berusia sebulan. Pada umumnya, ketika lahir mata bayi memang terlihat seperti juling.
Namun pada akhir bulan, mata ini sudah dapat terkoreksi dengan baik. Itulah mengapa, setelah usia sebulan dapat terlihat apakah mata bayi juling atau tidak. Jadi, jangan buru-buru panik dan cemas bayi akan bermata juling selamanya, ya, Bu-Pak? Kalaupun terus berlanjut juling, orang tua juga tak perlu terlalu khawatir karena bisa disembuhkan dengan jalan operasi. Dalam dunia kedokteran, mata juling bukan suatu hal yang sulit karena hanya permainan posisi bola mata. Ibaratnya, bila otot yang satu kepanjangan dan satu kependekan, maka tingal mengatur agar posisinya bisa sama.
2. Indra Pendengaran Kemampuan indra pendengaran malah sudah berfungsi sejak sebelum lahir. Tepatnya, sejak di kandungan saat janin berusia 24 dan 26 minggu sudah bisa mendengar. Terbukti, bila ada suara keras atau berisik, denyut jantung janin akan meningkat. Malah, pendengaran janin kadang dijadikan sebagai suatu tes untuk menguji kesehatannya. Bila janin diberikan suara keras namun denyut jantungnya tak berubah, bisa jadi ia mengalami gangguan gawat janin. Misalnya, kekurangan oksigen.
Dengan memperdengarkan suara kepada janin juga dapat merangsang pertumbuhan otaknya. Misalnya, ibu memperdengarkan rekaman suaranya saat bernyanyi. Bisa juga dengan memperdengarkan rekaman lagu-lagu klasik seperti mozart dan lainnya. Dari penelitian terbukti, bayi bisa merekam memori lagu-lagu tersebut. Pertumbuhan otaknya pun ternyata lebih baik. Bahkan kemampuan otak sebelah kanannya, seperti kemampuan musik dan intuisinya menjadi lebih baik melalui stimulasi suara tersebut.
Di beberapa negara seperti Jerman, pada saat hamil si ibu disuruh memutarkan rekaman. Disamping itu, ibunya juga dianjurkan untuk banyak bernyanyi karena getaran suara si ibu juga mempengaruhi janin. Ternyata getaran suara itu, baik suara si ibu maupun lagu-lagu akan sangat berkesan pada anak. Setelah lahir, bila ia menangis lantas diputarkan rekaman dari lagu yang disenanginya, maka ia akan diam; ia akan merasa tenang dengan suara yang dikenalnya itu. Itulah mengapa, sejak lahir, bayi sudah dapat mengenal suara dari intensitasnya, frekuensinya, dan iramanya. Dengan kata lain, ia bisa menganalisa suara. Ia dapat mengetahui suara ibunya sehingga bila mendengar suara tersebut ia akan merasa nyaman. Namun bila mendengar suara yang tak dikenal, bayi pun akan merasa gelisah.