Tak ada tempat yang aman bagi bayi. Itulah mengapa lingkungan yang aman harus diciptakan, tentunya oleh orang tua.
Kala bayi mulai bisa merangkak, biasanya para orang tua mulai "senam jantung". Betapa tidak? Si bayi kini tak lagi mau diajak duduk atau tiduran saja di boksnya. Ia ingin mengenali dunianya lebih luas lagi dengan merangkak sampai ke setiap sudut rumah, memegang setiap yang ia temukan lalu menariknya atau membantingnya atau bahkan memasukkannya ke dalam mulut. Akibatnya, bukan tak mungkin kecelakaan bakal terjadi.
Tentu bukan salah si bayi bila ia sampai mengalami kecelakaan. Seperti dikatakan psikolog dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, Evi Sukmaningrum, bayi adalah mahkluk yang belum berdaya sehingga ia tak tahu mana tempat yang berbahaya dan tidak. Oleh sebab itu, ujarnya, "orang tualah yang bertanggungjawab menentukannya."
SALAH ORANG TUA
Bagi banyak orang tua, tutur Evi, bayi yang baru lahir mungkin akan tampak lebih rentan terhadap bahaya. Hal ini sebenarnya kurang tepat. "Justru bayi yang sudah lebih besar dan sudah memiliki keterampilan khususlah yang lebih berisiko." Keterampilan seperti merangkak atau berjalan membuat bayi bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ini berarti rumah beserta lingkungan di sekitarnya bisa menjadi surga bermain sekaligus tempat yang rawan kecelakaan baginya. "Disinilah kemampuan 'meramal' dan mengawasi bayi dituntut dari orang tua."
Jadi, tandas lulusan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Bandung ini, "kalau ada bayi yang sudah dapat merangkak, jangan taruh barang-barang pecah belah di sekitar rumah." Kalau tidak, ya, jangan marahi si bayi bila barang tersebut pecah. Wong, itu bukan salah si bayi, kok. Orang tualah yang salah. Siapa suruh meletakkan barang tersebut di tempat yang dapat terjangkau oleh bayi. Iya, kan! Lebih jauh dijelaskan oleh Evi, tak ada tempat atau lingkungan yang 100 persen aman bagi bayi. "Setiap lingkungan di sekitar bayi sebenarnya memiliki risiko yang besar bagi kesehatannya."
Itulah mengapa masa bayi disebut juga sebagai tahun pertama yang berisiko. Adalah tugas orang tua untuk mengurangi resiko tersebut, yakni dengan berusaha memberikan lingkungan yang aman, paling tidak di lingkungan rumah. Misalnya, dapur merupakan daerah yang kaya akan risiko karena bayi bisa terkena api atau benda-benda panas. Jadi, saat ibu memasak, sebaiknya bayi dialihkan agar tak merangkak ke dapur. Antara lain dengan memberinya mainan. "Kamar mandi juga merupakan daerah yang rawan bagi bayi. Di sini yang penting lantainya tak licin agar bayi tak mudah terpeleset. Selain itu, bila ke kamar mandi, bayi tetap harus ditemani karena ia belum bisa melakukannya sendiri," lanjut Evi.
TIDAK OVERPROTECTIVE
Kendati dalam masa bayi diperlukan ekstra pengawasan, Evi mengingatkan, jangan sampai orang tua lantas bersikap overprotective. "Biarkan bayi melakukan apa saja asalkan orang tua tetap membantu." Namun yang dimaksud dengan membantu oleh Evi bukanlah orang tua selalu turun-tangan "merecoki" apa saja yang mau dilakukan bayi, melainkan bayi dijaga atau dilindungi dan diawasi. Misalnya, bayi mau mencoba merangkak menaiki tangga, biarkan saja tapi dengan tetap diawasi. Karena tak seperti anak usia 3 tahun yang sudah memasuki masa bermain dan dapat mandiri, bayi sampai usia setahun belum bisa melakukannya. Jadi ia tetap harus disertai oleh orang lain yang membantunya, namun sekali lagi jangan overprotective. "Dengan orang tua mengawasi namun tidak overprotective nantinya dapat memupuk kepercayaan diri dan kemandirian pada bayi," jelas Evi.
Tindakan yang tak over-protective juga berlaku ketika memberi mainan pada bayi. Seperti diketahui, bayi bereksplorasi dengan menggunakan mulutnya, sehingga segala mainan akan masuk ke dalam mulut. Bila mainan tersebut memang dirancang untuk bayi dan tak mengandung zat-zat yang berbahaya, menurut Evi, orang tua tak perlu selalu mensterilkannya. "Kalau jatuh ke tanah, mainan perlu dibersihkan. Tapi kalau hanya digigit-digigit, enggak apa-apa."
Bila orang tua bersikap overprotective sehingga semua mainan selalu disterilisasi, akibatnya juga enggak bagus buat si bayi. Karena nantinya bayi malah tak memiliki daya tahan terhadap racun atau zat asing di lingkungannya. "Bukankah dalam tubuh manusia sebenarnya ada antibodi untuk menangkal zat-zat racun?" ujar Evi.
KOTAK BERMAIN T
ak jarang para ibu memanfaatkan kotak bermain atau play square selagi mereka sibuk mengerjakan urusan rumah tangga. Menurut Evi, hal ini boleh-boleh saja dilakukan, "tapi sebaiknya bayi jangan terlalu lama diletakkan di kotak bermain." Sebab, di dalam kotak bermain, ruang geraknya sangat terbatas sehingga bayi tak akan betah berlama-lama di sana lantaran merasa bosan. Lagipula, jika bayi terlalu lama berada dalam kotak bermain, dampaknya juga tak bagus. "Bayi jadi tak banyak bergerak sehingga dapat berdampak buruk pada sistem motoriknya."
Lain halnya bila si bayi belum bisa apa-apa dalam arti keterampilannya masih sangat terbatas, mungkin tak terlalu jadi masalah karena ia cuma tiduran saja. "Tapi kalau bayi sudah berusia 5-6 bulan di mana ia sudah bisa bolak-balik badan dan mulai belajar duduk atau usia 7 bulan sudah bisa merangkak, maka ia sudah bisa dibiarkan bereksplorasi." Selain itu, bermain di dalam dan di luar kotak bermain memiliki perbedaan. Di dalam kotak bermain, bayi hanya bermain sendiri sehingga tak dapat berinteraksi dengan orang lain. Namun bila bermain di luar, bayi akan menjelajahi lingkungan sekitarnya sehingga ia akan mengenal lingkungannya. Jadi, saran Evi, "bila si bayi mau dimasukkan ke dalam kotak bermain, sebaiknya tak lebih dari satu jam agar ia bisa berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya."
Faras Handayani /nakita