Kok, Diam Saja, Sih, Mainannya Direbut?

By nova.id, Rabu, 25 Agustus 2010 | 17:41 WIB
Kok Diam Saja Sih Mainannya Direbut (nova.id)

Jangan bingung dulu, Bu-Pak. Mungkin si kecil tak sadar mainan itu miliknya sehingga ia cuek saja. Yang perlu dilakukan ialah mengembangkan rasa memiliki dalam dirinya.

Biasanya anak akan langsung bereaksi begitu barang atau mainan miliknya diambil oleh temannya; ia akan merebut kembali barang/mainannya itu. Tapi ada juga anak yang diam saja alias cuek atau pada awalnya ia diam saja dan baru bereaksi merebut kembali setelah barang/mainannya yang lain diambil lagi oleh si teman. Ada pula anak yang langsung menangis sambil menatap barang/mainannya yang diambil si teman tanpa berani mengambilnya kembali, atau malah lari ke ibu/pengasuhnya sambil menangis.

Bagaimana reaksi pertama seorang anak ketika barang/mainannya diambil atau direbut oleh temannya, memang tak selalu sama. Yang jelas, bila anak bereaksi merebut kembali barang/mainan miliknya yang diambil anak lain, berarti dalam dirinya sudah tumbuh kesadaran akan rasa memiliki. "Rasa memiliki biasanya mulai muncul menjelang usia 2 tahun," ujar Wieka Dyah Partasari, S.Psi. Bila anak terlambat atau tak punya rasa memiliki, ia akan menjadi ceroboh pada barang-barang miliknya. "Keinginan untuk menjaga atau tak merusak jadi sangat kurang. Barang-barangnya akan cepat rusak atau telantar," tutur Wieka.

Sebaliknya, jika rasa memiliki pada anak berlebihan, misalnya, sampai tak boleh dipinjam barang/mainannya, maka ia akan cenderung menjadi egois. "Kemampuan anak mengembangkan keinginan untuk berbagi dengan orang lain jadi berkurang," lanjut dosen pada Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta ini.

ARAHKAN AGAR TAK EGOIS

Munculnya rasa memiliki pada anak berawal dari kesadaran diri, "Saya siapa?" "Anak mulai sadar dan merasa dirinya sebagai individu yang berbeda dengan orang lain, sebagai individu yang unik dan terpisah dari orang lain serta dunia sekitar," terang Wieka. Jadi, rasa memiliki mulai berkembang dari kesadaran anak bahwa dirinya adalah suatu pribadi yang terpisah dari orang lain. "Dari situlah kemudian muncul rasa memiliki terhadap barang-barang seperti mainan miliknya, tempat duduknya, peralatan makannya, dan sebagainya."

Secara verbal, anak juga mulai bilang, "Ini punya saya."Pada mulanya, hampir semua barang dijadikan "punya saya". Kesannya jadi egosentris, tapi tak apa-apa, karena hal itu merupakan proses awal anak untuk mengembangkan diri dan dunia sekelilingnya. Yang penting, orang tua mengarahkan anak agar tak berkembang jadi egois. Misal, barang miliknya tak boleh dipinjam. "Nah, untuk mencegah ini, orang tua perlu mengajarkan anak untuk berbagi. Bukan hanya dalam hal mainan tapi juga makanan dan sebagainya," bilang Wieka.

Apalagi di usia batita anak sudah bisa belajar untuk kooperatif, sehingga ia bisa diajarkan untuk berbagi. Misalnya, mengarahkan anak untuk meminjamkan mainannya kepada teman atau mainnya bergantian. Atau, bila anak kita yang merebut mainan teman, larang dan arahkan dia untuk meminjam mainan tersebut kepada si teman.

AJARKAN TANGGUNG JAWAB

Tentunya, rasa memiliki juga harus dikembangkan dalam arti tak hanya sekadar memiliki tapi juga bertanggung jawab pada barang-barangnya. Dengan demikian, setelah si anak lebih besar, misalnya, usia SD, ia jadi bisa bertanggung jawab pada buku-buku sekolahnya, tas sekolahnya, pakaiannya, dan barang-barang lain miliknya. "Ada, kan, anak yang apa-apa ketinggalan, apa-apa hilang. Itu karena rasa memiliki yang sejak kecil ditumbuhkan tak dikembangkan ke arah yang bertanggung jawab, memelihara, dan menghargai barang."

Jadi, orang tua perlu mengajari anak untuk menjaga barang miliknya agar jangan sampai rusak. Misalnya, boneka jangan dibanting atau diinjak. "Anak juga diajarkan untuk membereskan mainannya dan meletakkan barang-barangnya kembali ke tempatnya. Memang awalnya, apalagi untuk anak usia batita, proses membereskan betul-betul harus dibantu dan harus dibiasakan. Tentunya, ini bukan proses yang sekali jadi dan orang tua harus mengajarkannya berulang-ulang. Namun orang tua juga perlu melihat tipe anaknya. "Bila anak memang bukan tipe yang teliti atau rapi, mungkin akan lebih susah bagi anak untuk membereskan dan menjaga barang-barangnya.

Nah, orang tua bisa menyediakan satu ruangan atau tempat untuk membereskannya. Meskipun tak terlalu rapi, yang penting terkumpul." Lain halnya bila si anak bisa lebih rapi, orang tua bisa menyediakan rak untuk menyimpan barang-barangnya itu. Jika anak sudah diajarkan merawat, menjaga, dan bertanggung jawab pada barang-barangnya, pada tahap berikutnya anak akan bisa menghargai milik orang lain. Tentunya, ini pun harus diajarkan oleh orang tua. Misalnya, si kecil merusak mainan temannya, nah, katakanlah, "Bagaimana kalau barang Ade dirusak teman? Enggak mau, kan? Jadi, Ade juga tak boleh merusak barang orang lain, Ade harus menghargai milik orang lain."

"Pelajaran" menghargai milik orang lain juga bisa dikaitkan dengan perkembangan moral, yaitu standar perilaku yang baik. Apalagi pada usia di mana rasa kesadaran diri mulai berkembang, anak juga mulai mengembangkan standar nilai dalam bentuk sederhana seperi benar-salah, boleh-tak boleh, dan sebagainya. "Nah, bila pada saat anak sudah mulai matang untuk mengembangkan moral atau standar nilai dan orang tua pun mengajarkannya, maka ia akan lebih cepat belajar untuk patuh, membedakan mana yang boleh dan tidak, mengembangkan rasa takut atau malu kalau salah."

PEMALU

Jadi, Bu-Pak, bila si kecil diam saja saat barang/mainannya diambil temannya, mungkin karena ia memang belum mengembangkan rasa memiliki. "Ia mungkin tak terlalu peduli atau tak sadar miliknya diambil orang lain," jelas Wieka. Tapi tak usah cemas atau panik, karena mungkin si kecil memang masih dalam tahap itu. "Pada rentang- rentang usia tertentu, tiap-tiap anak akan punya kematangan. Mungkin memang yang satu lebih lambat atau satu lebih cepat." Kecuali bila sampai usia prasekolah dimana anak harus mulai bersosialisasi, ternyata ia masih seperti itu, barulah orang tua perlu agak curiga.

Tapi bila si kecil sama sekali tak berani menunjukkan bahwa barang/mainan tersebut miliknya atau ia cenderung takut dan lari ke orang tua, menurut Wieka, orang tua harus mulai membantu anak untuk belajar mengungkapkan apa yang ia inginkan dan menunjukkan bahwa barang/mainan tersebut adalah miliknya. "Secara verbal, orang tua bisa mulai menunjukkan, 'Ini mainan Ade,' atau 'Ini baju Ade.'" Lalu tunjukkan tempat untuk menyimpan barang-barangnya, entah mainan, baju, sepatu, dan sebagainya. "Mungkin anak juga akan mulai bilang, 'Saya mau pakai baju ini.'

Hal ini menandakan anak sudah tahu, 'Ini saya, ini dunia di luar saya.' Nah, orang tua bisa menunjukkan mana area dia, sekaligus juga menunjukkan mana yang punya ibu dan mana yang punya ayah." Lain halnya bila saat pertama si kecil diam saja dan baru bereaksi kemudian, "ia sedang dalam proses di mana ada kehadiran orang lain di dekatnya," ujar Wieka. "Untuk suatu situasi yang baru, anak biasanya memang akan melihat dulu. Anak akan memperhatikan dan baru pada peristiwa berikutnya mulai muncul perasaan, 'Ini punya saya, jadi harus saya pertahankan,'" lanjutnya.

Terlebih pada anak yang sifatnya lebih pasif, tenang, dan pemalu. Kali pertama mainannya diambil, mungkin ia diam dan memperhatikan. Baru ketika mainannya diambil lagi, anak akan mulai merasa, "Saya punya hak atas barang milik saya," sehingga ia kemudian berani merebut dan mempertahankannya. "Perlu diketahui, agresivitas pada saat-saat tertentu memang merupakan cara anak belajar," ujar Wieka. Bila anak dasarnya memang pemalu dan cenderung takut pada orang asing, saran Wieka, orang tua perlu membantu anak membiasakan diri bertemu dengan orang lain dan memberi kesempatan bergaul dengan anak lain sehingga ia terbiasa bergaul. Nah, Bu-Pak, sudah nggak bingung lagi, kan?  

Hasto Prianggoro/nakita