Sikap Kritis Pada Anak Harus Diasah

By nova.id, Senin, 23 Agustus 2010 | 18:43 WIB
Sikap Kritis Pada Anak Harus Diasah (nova.id)

Dalam kehidupan sehari-hari pun orang tua bisa mengasah daya nalar anak. Misalnya, saat ibu memakaikan diapers pada celana sang adik, ibu bisa bilang, "Adik harus pakai diapers supaya celananya tak basah." Dengan memberikan penjelasan dan pengetahuan, daya nalar anak pun berkembang. Yang tak boleh dilupakan, terang Hera, rangsangan dari luar ikut menentukan kekritisan anak. "Itulah pentingnya kesadaran orang tua untuk selalu memberi pengetahuan sebanyak mungkin pada anak. Cobalah kalau hari libur, ajak anak berjalan-jalan ke kebun binatang, ke pantai atau ke tempat-tempat yang dapat menambah wawasan anak. Dengan pengetahuan yang banyak, maka akan mempertajam daya pikir anak."

Tentunya, rangsangan yang diberikan pada anak harus disesuaikan dengan kemampuannya. "Orang tua, kan, pasti tahu kemampuan anaknya sudah seberapa jauh. Dengan demikian ia tahu, anaknya bisa memahami pada tahap yang bagaimana. Kalau anaknya cuma baru bisa bicara sepatah dua patah kata, tentunya tak perlu menuntut anak menjelaskan secara panjang lebar. Yang singkat dan sederhana saja pun oke." Selain itu, jangan lupa memberi kesempatan pada anak untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya. "Dalam suasana yang egaliter dengan teman sebayanya, biasanya anak terasah sikap kritisnya. Coba saja dengarkan obrolan antar anak, bagaimana mereka saling mengunggulkan dan menyangkal pendapat teman-temannya."

CONTOH DARI ORANG TUA

Tapi jangan salah, lo, mengembangkan sikap kritis bukan berarti anak boleh seenaknya mengkritik orang lain. Misalnya, si kecil keceplosan, "Ih, Tante, kok, gendut sekali, sih!" Orang tua harus mengingatkan, "Kamu enggak boleh bilang begitu di depan orangnya." Bila ia bertanya, "Mengapa?", jawablah, "Karena omonganmu itu akan melukai hatinya. Kamu juga enggak suka, kan, kalau disakiti?"

Jadi, ada nalarnya, bahwa sesuatu itu tak boleh dilakukan karena ada nalarnya. Tentunya, anak juga harus diajarkan melihat hal-hal positif dari dirinya sendiri dan orang lain. "Ajarkan juga bahwa mengkritik orang boleh-boleh saja, tapi ada caranya. Ada yang dengan cara manis dan ada pula dengan cara agresif," tutur Hera. Untuk anak kecil, contoh dari orang tua sangat diperlukan, bagaimana orang tua mempraktekkan sikap kritis dalam kehidupan sehari-hari. "Kritis tapi tetap ada rambu-rambunya, lo." Karena itu, Hera berpendapat, tak ada salahnya bila ayah dan ibu berdebat di depan anak, karena dapat memberi contoh secara langsung pada anak. "Tentunya pilih perdebatan yang layak untuk didengar anak. Kalau perdebatan itu tak baik didengar anak, ya, jangan lakukan di depan anak."

MUDAH BERADAPTASI

Nah, sudah paham, kan, Bu-Pak? Tapi tak perlu berkecil hati bila sang buah hati tak seperti teman-teman sebayanya yang kritis, karena tak selamanya ia akan demikian. "Bukankah anak selalu berubah? Perubahan ini bisa terjadi karena terbawa lingkungannya," tutur Hera. Misalnya, lingkungannya atau teman-temannya terdiri dari orang-orang yang kritis, banyak omong, banyak tanya, maka ia pun bisa jadi terbawa dan akhirnya ikut berpikir kritis pula. Tapi jangan lupa, belum tentu anak akan mendapatkan lingkungan yang kritis.

Itulah mengapa Hera menekankan, "alangkah baiknya jika sikap kritis diasah dari rumah." Apalagi, tambahnya, pengajaran di sekolah semakin tinggi, semakin menuntut pikiran yang kritis dari siswanya. Memang, aku Hera, di SD hingga SMU banyak pelajaran yang tak mendukung anak berpikir kritis. "Anak diberi hapalan melulu. Namun di perguruan tinggi, anak dituntut untuk berpikir kristis." Nah, kalau ia tak diasah sejak kecil, bagaimana ia bisa berpikir analitik dan kritis? Iya, kan? 

Indah Mulatsih / nakita