Buatlah Si Kecil Merasa Aman

By nova.id, Jumat, 20 Agustus 2010 | 18:54 WIB
Buatlah Si Kecil Merasa Aman (nova.id)

Sering terjadi, anak usia ini menolak ayah. Padahal, ayah bisa juga, kok, dekat dengan anak. Kuncinya, buatlah ia merasa aman!

Anak usia ini punya kecenderungan lebih lengket dengan ibu. Apa-apa maunya sama ibu. Terlebih saat menangis, kendati ibu sedang repot atau tak ada dan ayah siap membujuk serta mengajaknya bermain, namun tetap ibulah yang dicari. Bahkan ada anak yang tetap tak mau diam meski sudah dibujuk dan diajak main oleh ayah. Pokoknya, harus ibu!

Sigmund Freud, pencipta psikoanalisa yang teori oedipus complex-nya sangat dikenal, menyebut masa ini sebagai oedipal stage di mana anak menganggap ibu adalah segala-galanya. Jadi, sebenarnya wajar saja ketergantungan anak usia ini pada ibu. Cuma, sering terjadi ketergantungan tersebut agak berlebihan sampai-sampai anak menolak ayah.

Biasanya dikarenakan ayah sangat kurang terlibat kala anak berusia bayi, sehingga tak ada ikatan emosi antara anak dan ayah. Padahal, sebagaimana sudah dipaparkan di muka, sejak anak lahir (bahkan sejak anak di kandungan), ayah seharusnya sudah melibatkan diri. Dengan demikian, ikatan emosi antara anak dan ayah akan terbentuk. Tapi, toh, tetap belum terlambat bila ayah baru mulai terlibat saat anak berusia 2 tahun, misalnya. "Hanya saja akan jauh lebih sulit karena ayah tak terbiasa dengan urusan anak," ujar Dra. Rostiana. Bukankah ini berarti ayah harus memulainya dari nol? Jadi, mau tak mau, harus ada kesediaan dari ayah untuk belajar.

RASA AMAN

Nah, untuk memudahkan belajar, tentunya ayah perlu tahu apa yang dibutuhkan si kecil di usia ini. Yang pertama ialah kebutuhan akan rasa aman. "Rasa aman ini mencakup fisik, emosi dan sosial. Jadi, anak merasa terlindungi," jelas Ros, panggilan akrabnya. Adapun yang menjadi dasar dari rasa aman ialah kepercayaan, yang seharusnya mulai dibentuk di usia bayi. Karena tanpa ada kepercayaan, anak tak akan bisa dekat dengan ayah. Itulah mengapa, bila ayah tak terlibat selagi anak masih bayi, maka di usia ini akan semakin dekat dengan ibunya.

Jadi, bila ayah tak terlibat di usia bayi, maka yang pertama harus diberikan ayah pada anak usia ini ialah basic trust. "Dengan basic trust, anak akan merasa ia memang disayang oleh ayahnya." Tapi bukan berarti ayah tak boleh marah atau menghukum si kecil, lo. "Basic trust tetap akan terbentuk jika setelah marah atau menghukum, ayah menjelaskan kenapa bersikap demikian."

Misalnya, ayah melarang anak memanjat pohon. Nah, jelaskan pada anak, misalnya, "Ayah melarang Ade naik pohon itu karena pohon itu banyak semutnya. Nanti bisa digigit semut. Kalau Ade mau panjat pohon, yuk, ikut Ayah." Dengan begitu, anak akan merasa, "Oh, ayah adalah tempat di mana aku bisa berlindung." Nah, dengan adanya basic trust, anak pun jadi bisa dekat dengan ayah karena ia merasa aman. Kalau tidak, selain anak akan menolak ayah, akhirnya pun akan sulit bagi anak untuk percaya pada orang lain. "Ia jadi gampang curiga, bahkan tak bisa mencintai ataupun dicintai orang lain," ujar Pembantu Dekan III Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta ini.

JADI SAHABAT

Cara paling gampang untuk membentuk basic trust ialah menjadi sahabat bagi anak. Artinya, ayah menjadi teman sehari-hari bagi anak, melibatkan diri dalam banyak kegiatan anak. Bermain merupakan salah satu bentuknya. Apalagi anak usia ini tengah mengembangkan keterampilan psikomotoriknya.

Nah, dengan ayah melibatkan diri secara fisik lewat aneka ragam permainan bersama batita, selain akan membantu anak melatih psikomotoriknya, juga akan membentuk kepercayaan pada diri anak terhadap ayah. "Anak akan merasa, ayahnya memang merupakan figur yang ia butuhkan untuk melindunginya," tutur Ros. Ayah juga bisa menjalin kepercayaan dan kedekatan dengan anak melalui obrolan sambil melakukan aktivitas.

Misalnya, sambil menggambar, ayah ikut mencoret-coret "gambar" yang tengah dibuat anak, "Ini matanya, ini hidungnya." Bagi anak usia ini, terang Ros, yang penting ada teman yang mengerti apa yang ia maui. "Kalau dengan teman sebaya, kan, belum tentu apa yang ia mau itu dipahami. Malah kalau lagi main, bisa-bisa berantem."

Mendongeng juga akan membuat kedekatan antara ayah dan anak terjalin. "Apalagi jika ayahnya ekspresif, misalnya, bisa menirukan berbagai suara binatang. Nah, ini akan terekam terus di benak anak." Pendeknya, dengan ayah berperan sebagai teman, anak akan merasa dekat dan enjoy. Karena anak tak takut menghadapi ayahnya, ada tempat bertanya sekaligus berlindung bagi anak. Jadi, rasa aman anak pada ayahnya akan terbentuk.

DASAR IDENTIFIKASI

Hal lain yang perlu diketahui ayah ialah anak usia ini tengah berada dalam tahap imitasi atau meniru. Tahap ini merupakan dasar bagi anak, terutama si Buyung untuk beridentifikasi dengan ayah, yang biasanya terjadi di usia 3-5 tahun. Identifikasi merupakan salah satu cara anak untuk membentuk konsep dirinya.

Umumnya, orang tua adalah orang pertama yang ditiru anak, karena orang tualah yang sehari-hari dekat dan bersama anak. Namun berbeda dengan identifikasi di mana anak umumnya akan meniru orang tua yang berjenis kelamin sama, maka dalam imitasi, anak akan meniru ayah maupun ibunya. Tapi, karena ayah adalah tokoh identifikasi bagi anak lelaki, maka tugas ayahlah menjadikan figurnya sebagai patokan bagi anak untuk berimitasi. Itulah mengapa basic trust pada diri anak terhadap ayah penting dibentuk di usia ini.

Tanpa ada ikatan emosional antara si Buyung dengan ayahnya, maka sulit diharapkan ia akan beridentifikasi dengan ayah. Bisa-bisa nanti ia malah beridentifikasi dengan orang lain semisal kakek atau paman atau malah orang lain yang dekat dengannya. Jadi, ujar Ros, "tergantung ayah, ia mau menampilkan citra yang bagaimana." Bila ayah ingin dirinya kelak dijadikan model identifikasi oleh si Buyung, maka di usia inilah ayah harus sudah memulainya. Untuk itu, selain membentuk basic trust, ayah juga harus konsisten. "Memang tak bisa 100 persen konsisten, tapi setidaknya diusahakan agar konsistennya lebih banyak."

Sebab, terang Ros, konsistensi sangat penting bagi langkah anak untuk melakukan identifikasi. "Karena si Buyung punya patokan, kelak kalau aku besar ingin menjadi seperti ayah." Sebaliknya, si Upik akan berpatokan, kalau aku besar nanti ingin punya suami seperti ayah. Karena bagi anak perempuan pun, ayah juga memberikan kontribusi, terutama dalam pembentukan konsep figur lelaki dan relasinya dengan lawan jenis di kemudian hari.

DIWAKILI OLEH IBU

Soal kuantitas, menurut Ros, tak begitu penting. "Bisa saja ayah menemani anak bermain hanya dalam waktu 15 menit," ujarnya. Namun dengan syarat, ayah harus benar-benar involved. "Jadi, bukan sekadar menemani anak sementara ayah asyik membaca koran, misalnya. Kalau ini yang terjadi, biarpun berjam-jam, ya, tak akan banyak berguna." Selain itu, kekurangan waktu ayah untuk bersama anak, toh, bisa diwakili oleh ibu. "Ibu tetap bisa melibatkan figur ayah dalam kegiatan atau permainan bersama anak," kata Ros.

Misalnya, menggambar, "Yuk, kita gambar rumah. Papa di mana, ya? Oh, Papa lagi kerja di kantor." Jadi, sekalipun secara fisik ayah tak ada, namun anak akan merasa ayah tetap ada. Lewat bahasa verbal, ibu juga bisa menunjukkan ayah tetap sayang pada anak. Misalnya, "Ayah sekarang lagi kerja cari uang. Uangnya buat beli sepeda Ade. Nanti kalau Ayah pulang, Ade diajarkan naik sepeda."

Dengan demikian, kala anak menangis atau sakit dan ibu tengah repot, anak tak akan rewel meski ia hanya bersama ayah, karena anak merasa aman bersama ayah. Namun tentunya, jangan sampai ayah hanya diwakili terus oleh ibu. "Jika ibu ngomong seperti itu terus sementara ayah tak pernah terlibat, ya, basic trust anak pada ayah juga tak akan terbentuk." Jadi, tandas Ros, bila ibu sudah mewakili ayah, maka ibu harus mengkomunikasikannya kepada ayah dan ayah harus tetapp menyediakan waktu untuk anak.

Untuk itu, diperlukan kerja sama yang baik antara ayah dan ibu. Bukankah ayah dan ibu adalah mitra dalam merawat, mengasuh, dan mendidik anak? "Sebagai mitra ibu dalam membesarkan anak, ayah bisa menjadi narasumber bagi anak. Ayah yang bisa menampilkan jawaban sesuai dengan pertanyaan anak akan mempunyai bobot lebih tinggi di mata anak," tutur Ros. Apalagi, lanjutnya, ayah kadang tak tahu bagaimana caranya untuk menampilkan citra sebagai sahabat di mata anak. "Nah, ibulah yang harus berperan.

Bagaimanapun, nurture atau pengasuhan pada perempuan lebih bersifat otomatis, sementara pada lelaki harus dipelajari." Salah satu caranya ialah "menawarkan" berbagai program bagi ayah dan batita. Misalnya, berkebun atau berenang. Ibu juga bisa mengajak ayah memasak untuk anak atau mencuci mobil bersama-sama. "Anak batita sudah bisa dilibatkan, kok." Tak peduli bagaimana hasilnya, karena yang terpenting adalah pelibatan emosi di dalamnya. Toh, hasilnya bisa diperbaiki oleh ayah nanti.

HINDARI KONFLIK

Yang harus diingat, ayah dan ibu adalah mitra dalam merawat, mengasuh, dan mendidik anak. Jadi, ayah dan ibu harus bekerja sama, saling mengisi. Bila ibu sibuk, misalnya, ayahlah yang mengambil alih. Selain itu, ayah-ibu harus memiliki kesepakatan pola asuh. Jangan sampai bertentangan, karena bisa menimbulkan konflik dan itu akan berpengaruh pada anak.

Kendati usianya masih batita, namun si Buyung dan Upik sudah bisa merasakannya, lo. "Terutama pada anak yang lebih peka atau cerdas, minimal akan bertanya, ada apa, sih," bilang Ros. Bila konflik terjadi sekali dua kali, menurut Ros, tak begitu masalah. Anak hanya sekadar bertanya, terus lupa. Tapi kalau terus-terusan, misalnya, sampai ada perang dingin antara ayah dan ibu, anak akan semakin bertanya-tanya, "Kok, mainnya sama Bunda terus, sih? Kok, Ayah enggak ikut main? Kok, kita enggak pernah jalan sama-sama lagi." "

Hal ini akan mempengaruhi perasaan aman dan kepercayaan anak terhadap ayah atau ibu," ujarnya. Apalagi, lanjut Ros, jika orang tua tak menjelaskan kenapa mereka bertengkar hebat, "anak seringkali merasa ia yang menjadi penyebab pertengkaran." Terutama jika orang tua menumpahkan kekesalannya pada anak, akan mempertebal rasa tak percaya anak pada orang tua. Anak akan berpikir, dirinya memang tak disayang. Jadi, Pak-Bu, kendati sedang konflik, tetaplah bersama-sama main dengan anak seperti biasa.  

Julie/Hasto Prianggoro/nakita