AJAK DIALOG
Nah, bila kita tak pernah mengajari si kecil "malak" namun ia melakukannya, tak perlu panik. Yang perlu kita lakukan adalah menggali informasi pada si kecil, "Kenapa minta uang? Uangnya berapa, sih, yang kamu mau?" Misalnya, ia minta uang Rp. 10 ribu, tanyakan lagi, "Sebenarnya uang Rp. 10 ribu itu untuk apa, sih? Kalau kamu dapat uang Rp. 10 ribu akan kamu belikan apa?" Dengan adanya dialog, menurut Mitha, anak akan sadar, "Iya, ya, benar enggak, sih, aku perlu uang?" Sebab, terangnya, anak usia prasekolah sebenarnya belum tahu makna uang.
"Walaupun ia tahu, kalau mau beli sesuatu, entah itu permen atau eks krim, harus pakai uang. Tapi, kan, anak seusia itu belum butuh duit. Kalau ia butuh sesuatu, ia tinggal minta pada orang tuanya. Orang tuanyalah yang nantinya akan menyediakan bendanya." Anak pun harus diberi tahu bahwa ia tak boleh minta uang atau sesuatu pada tamu yang datang, sekalipun si tamu adalah kerabat kita sendiri. Katakan kepadanya, "Kalau Kakak mau minta uang, minta sama Ayah atau Bunda, ya." Bila ia bertanya, kenapa, katakan saja, "Kakak minta uang itu untuk apa? Minta sesuatu itu, kan, kalau kita memang butuh. Masak kalau tidak ingin sesuatu, bilang minta? Kalau memang enggak butuh, ya, enggak perlu minta-minta duit."
Tentunya akan lebih efektif bila kita tak hanya sekadar melarang, tapi juga memberikan alternatifnya. "Misalnya, ia minta uang untuk jajan. Nah, suatu saat kita belanja bulanan atau mingguan, sediakan stok makanan kesukaan anak. Juga sehari-harinya sediakan kue-kue di rumah, sehingga anak tak perlu lagi mencari makanan kecil dengan cara jajan," tutur Mitha. Kalau ia bilang minta uang untuk ditabung, maka terangkan bagaimana cara menabung yang benar.
Misalnya, "Menabung itu dilakukan kalau kita bisa menyisihkan uang. Jadi, kalau kamu dikasih Rp. 1000 untuk jajan, tapi kamu hanya membelikan Rp. 500, maka sisanya yang Rp. 500 kamu masukkan ke tabungan. Bukan malah kamu sengaja minta uang untuk ditabung, tapi harus diusahakan sedikit demi sedikit hingga penuh; itu yang namanya menabung. Minta uangnya juga bukan ke tamu, tapi ke Bunda atau Ayah."
INGATKAN PARA TAMU
Untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif, Mitha menyarankan agar semua orang yang terkait di lingkungan rumah juga diberi tahu. Misalnya, sang tante suka memberi uang jika diminta, nah, beri tahu si tante agar lain kali jangan suka memberi uang pada anak kita. "Boleh saja ia memberi kalau ada event tertentu. Misalnya, di hari Lebaran, ulang tahun, naik kelas, dan sebagainya."
Terangkan pula bahwa kita sedang mendidik anak untuk tak meminta-minta pada orang lain, sekalipun pada kerabat. Bila si kecil sudah terlanjur meminta uang pada tantenya, tegaskan kembali aturan kita, "Lain kali kamu enggak boleh minta uang sama Tante yang datang, ya. Kalau Tante tadi, kan, lama enggak ketemu kamu sehingga ingin ngasih kamu. Nah, sekarang kamu simpan uang itu. Tapi kamu ingat, kan, kalau kamu tak boleh minta uang pada Tante atau siapapun juga, kecuali pada Ayah dan Bunda?"
Selain itu, sang tante pun sebaiknya diberi tahu untuk ikut mengarahkan jika ia dimintai uang oleh anak, jangan langsung memberi. Misalnya, anak minta uang untuk ditabung; katakanlah, "Tante enggak kasih sekarang, ya. Tante akan kasih kamu uang nanti kalau kamu ulang tahun. Sebentar lagi kamu, kan, mau ulang tahun." Dengan demikian, si kecil pun akan mengerti bahwa hanya pada event-event tertentu saja ia akan mendapat uang atau hadiah. Juga ia belajar bagaimana menunda kebutuhannya.
Tapi, bagaimana dengan kakek-nenek? Karena biasanya kakek-nenek, kan, susah direm; enggak tega kalau tak memberi kepada cucu saking sayangnya sama cucu. Menurut Mitha, berdayakanlah si kecil. Ajarkan juga makna memberi, tak hanya meminta. Misalnya, "Yuk, kita ke rumah Kakek-Nenek. Kita belikan apa, ya, sebagai oleh-oleh buat Kakek dan Nenek. Kamu punya uang enggak? Yuk, kita belikan sesuatu. Kamu punya uang berapa, nanti Mama tambahi." Jadi, anak diajarkan bahwa kalau ke rumah kakek-nenek itu tak hanya bisa meminta uang, tapi juga memberi pada mereka.
TAK BISA HILANG SEKETIKA
Tentunya kita tak bisa langsung mengharapkan kebiasaan "malak" akan hilang dalam seketika dari diri anak. "Karena kemampuan anak untuk menyerap kata-kata, kan, masih terbatas. Sehingga ketika kita menjelaskan pada seorang anak, dibutuhkan waktu yang agak lama atau berulangkali," terang Mitha. Jadi, jangan "terbit" rasa keki dulu, Bu-Pak, "Kamu, kok, enggak ngerti-ngerti, sih, kan, sudah Mama bilangin bahwa itu enggak boleh dilakukan." Percayalah, bila kita konsisten dalam menerapkan aturan, maka si kecil pun akan melihat.
Namun selain konsisten, kita juga harus konsekuen. Jadi, bila si kecil sudah diberi tahu beberapa kali namun ia masih juga pada perilaku "malak"nya, maka ia harus menerima konsekuensinya. Misalnya, tak boleh menonton film kartun kesayangannya selama beberapa hari atau jam menontonnya dipotong, dan sebagainya. Sebaliknya, jika ia bisa menghentikannya, "tunjukkan penghargaan buatnya," ujar Mitha.
Bila ia menunjukkan perbuatan yang baik, tak lagi meminta-minta, akhir bulan kita berikan uang tambahan untuk tabungannya. Katakan kepadanya, "Mama senang sekali karena waktu Tante datang tadi, Kakak enggak minta uang sama Tante. Nanti akhir bulan ini, Mama akan kasih tambahan uang untuk tabungan Kakak."
Suatu saat uang itu bisa digunakan anak untuk dibelikan hal-hal yang ia butuhkan seperti kertas gambar, buku cerita, boneka, dan sebagainya. "Jadi, ada suatu proses ketika ia mengumpulkan uang dan ketika ia membeli sesuatu. Hal inilah yang perlu diajarkan kepada anak." Selain itu, dengan kita mengungkapkan penghargaan terhadap perilaku positif anak, umumnya anak akan sibuk mencari hal positif apa lagi yang akan dilakukannya. Sebab, terang Mitha, pada dasarnya anak senang menyenangkan orang tuanya. "Tapi kalau ia lebih banyak diomeli dan dilihat kesalahannya, ia akan bingung; ia tak akan menemukan mana yang benar, salah lagi-salah lagi." Jadi, kuncinya terletak di tangan Ibu dan Bapak, lo!
Indah Mulatsih/ nakita