Ingin Jadi The Best Tak Selalu Jelek, Kok!

By nova.id, Rabu, 18 Agustus 2010 | 02:09 WIB
Ingin Jadi The Best Tak Selalu Jelek Kok (nova.id)

Justru itu berarti ia memiliki semangat "juang". Yang penting, arahkan ia agar tak jadi kebablasan.

Saat anaknya, Dina, ikut lomba lukis, buru-buru Ny. Rina menitipkan piala pada panitia. Sehingga kalah atau menang, Dina pasti akan mendapatkan piala. Hal ini dilakukan Ny. Rina karena Dina tak bisa menerima kekalahan. Ia harus selalu jadi the best.

Tentu bukan salah si Upik atau si Buyung bila mereka maunya jadi the best (unggul) melulu. Karena anak-anak yang demikian, seperti dikatakan Dra. Rose Mini A.P.,M.Psi., dikondisikan oleh lingkungan untuk selalu menjadi the best. "Umumnya, orang tuanya mengakomodir kondisi untuk jadi selalu unggul ini. Kalau ingin sesuatu, ia tak perlu susah-susah, orang tuanya pasti sudah menyediakan apa yang diinginkannya.Nah, kondisi ini akan membuat anak menjadi selalu merasa dinomorsatukan ataupun didahulukan," terang dosen di Fakultas Psikologi UI ini.

Biasanya, lanjut Rose Mini, anak the best terjadi pada anak yang "ter...", entah tersayang, terpintar, ataupun terlemah. Juga bisa terjadi pada anak pertama, tengah, bungsu maupun tunggal. "Pada anak tunggal atau satu-satunya anak kecil di lingkungan orang dewasa, umumnya para orang dewasa itu tak mau mengalahkannya. Entah dalam permainan atau dalam perebutan apa pun. Kebanyakan justru mengalah, sehingga ia merasa bahwa memang seharusnya ia memperoleh semua itu." Jadilah ia tak pernah mau kalah, selalu ingin menang terus.

DIJAUHI TEMAN

Setiap orang, ujar Rose Mini, sebenarnya punya potensi untuk menjadi nomor satu. "Tapi setiap orang juga punya potensi untuk mengalah dan memahami kekalahan." Jadi, apakah nantinya ia bisa menerima kekalahan atau tidak, sangat tergantung pada lingkungannya. "Kalau lingkungannya selalu membantu ia agar jadi juara dan tak ada kompetisi yang sehat, maka ia tak akan merasakan kekalahan itu, ia selalu ingin jadi juara."

Terlebih lagi, anak prasekolah masih egosentris. Semua harus mengarah ke dirinya. Jadi, kalau dituruti, ia tak akan pernah merasakan kekalahan itu sendiri. Tentu dampaknya tak bagus buat anak, "bisa mengganggu proses sosialisasinya dengan teman-temannya," ujar Rose Mini. Ambil contoh kasus Dina di atas, "ia akan merasa dirinya perfect child." Anak-anak demikian bukankah kalau diajak bergaul pun sering kurang menyenangkan? Juga kalau ia merasa istimewa terus, ia pun akan menuntut lingkungannya untuk menyediakan hal demikian padanya.

"Kalau di sekolah, duduk pun harus di depan. Di rotasi ke belakang tak mau pindah. Kan, nyebelin anak demikian. Belum tentu teman-temannya suka padanya, kan? Terlebih lagi, anak demikian biasanya kurang tenggang rasanya." Selain itu, ia juga akan miskin pengalaman. Bukankah dalam kehidupan kita tak hanya merasakan senang, tapi juga akan mengalami rasa sedih? "Nah, ia tak pernah merasakan pengalaman ini. Ia selalu gembira karena selalu mendapat keunggulan."

Yang lebih parah, jika di rumah ia selalu the best karena orang-orang kebanyakan mengalah padanya, maka saat ia berada di lingkungan luar yang mungkin standarnya lebih tinggi, ia tak akan bisa mencapainya. "Ia akan frustrasi karenanya. Kalau sfrustrasi, biasanya ia akan uring-uringan, sehingga ia tak manis lagi bagi lingkungannya. Ia bisa dijauhi teman, kan?"

AJARKAN BERBAGI

Jadi, Bu-Pak, sebelum terlambat, si kecil harus segera diarahkan. "Pertama-tama yang perlu diajarkan padanya adalah sharing. Jika sebelumnya ia selalu ingin didahulukan, jangan dinomorsatukan dahulu. Ia harus diperlakukan sama," kata Rose Mini. Memang reaksi pertamanya akan marah, tapi terangkan bahwa ia harus mulai belajar bergiliran. Misalnya, kala ia ingin merebut mainan temannya atau ingin main lebih dulu, katakan,

"Siapa yang mau bersabar menunggu giliran main, dia yang paling cantik, lo." Dengan demikian ia akan belajar untuk berbagi. Juga kalau ia minta sesuatu, misalnya, minta susu, jangan langsung dituruti. Biarkan ia menunggu sebentar. "Sebagai orang tua jangan mudah menyerah karena perasaan tak tega jika anak sudah marah atau menangis. Orang tua harus selalu berpikir, apakah ini untuk kebaikan anak, apakah anak ini akan jadi lebih baik kalau diperlakukan seperti ini? Kalau ia diindung-indung terus, apakah setelah masuk ke masyarakat ia akan survive? Itu harus dipikirkan."

Tentu ayah dan ibu harus bekerja sama. Kemudian, delegasikan secara rinci tugas ini pada pengasuh anak. Misalnya, jangan hanya menyuruh pengasuhnya mengajak anak main, tapi terangkan juga mainnya seperti apa; bahwa saat main sama anak, kalau memang ia harus kalah, ya, harus kalah. "Jadi, pengasuhnya jangan mengalah melulu hanya gara-gara agar anak tak menangis."

Selanjutnya yang harus dilakukan orang tua ialah mengajarkan bagaimana cara mengatasi rasa kalah. "Orang tua wajib memberikan pengalaman pada anak, termasuk pengalaman untuk kalah." Caranya harus konkrit operasional. Artinya, harus betul-betul kelihatan, terasa, dan teraba oleh anak. Cara yang paling bagus adalah membudayakan anak bersosialisasi dengan teman-temannya. "Kala bermain dengan teman-temannya, pasti ada saat teman-temannya merebut mainannya atau ia merebut mainan temannya. Mungkin ia akan menangis pada awalnya, tapi lama-kelamaan anak akan belajar bagaimana untuk survive dalam perebutan itu."

Saat anak menangis karena kekalahannya itu, saat itulah sebaiknya orang tua masuk, "Sekarang Kakak kalah dulu, ya. Kalau nanti tanding lagi, mungkin Kakak akan menang." Kemudian saat ia menang, kasih tahu, ini namanya menang, "Senang, kan, rasanya? Kalau mau menang memang harus ada usaha."

DIBERI MOTIVASI

Walaupun keinginan untuk selalu the best atau unggul bisa berdampak terhadap proses sosialisasi, namun tak selalu berarti jelek. Sebab, tutur Rose Mini, dengan adanya keinginan tersebut berarti anak punya semangat untuk fight. Yang penting, orang tua jangan lupa untuk mengajarinya rasa kalah dan bagaimana cara mengatasi kalau ia sedang kalah. Karena tak jarang, anak yang mengalami kekalahan akan hilang semangat tandingnya.

"Kadang anak kurang semangat juang kalau tak didorong, lo. Terlebih lagi pada anak yang biasa disediakan segala fasilitas dari orang tuanya." Bila tak ada pompaan motivasi pada dirinya, mau kalah atau menang, ia akan tenang-tenang saja. Bukankah kalau segala sesuatunya sudah terpenuhi, untuk apa lagi ia fight? Jadi, tandas Rose Mini, "orang tua harus terus memberinya motivasi dan dorongan semangat untuk fight."

Umumnya anak kalau menghadapi kekalahan dengan menangis atau marah. Misalnya, ia marah dan hasil gambarnya lantas dirobek-robek, katakan, "Sayang gambarnya dirobek, jadi enggak bisa dilihat lagi. Walaupun gambarnya enggak menang, tapi, kan, bisa Ibu tempel di rumah." Jadi, jangan malah dimarahi kalau anak kalah bertanding, karena sebenarnya yang terpenting dalam pertandingan bukanlah kemenangannya.

"Kalah pun harus mendapat penghargaan. Bahwa dia berhasil menahan kekalahannya itu justru harus dihargai. Jadi, jangan kalau menang saja ia disebut 'Anak Mama'." Jikapun orang tua ingin memberikan punishment, caranya mesti bijaksana. "Punishment yang diterapkan sebaiknya berupa konsekuensi. Kalau ia tak berusaha dengan keras, maka kekalahanlah konsekuensinya." Misalnya, "Kakak tadi larinya enggak kencang, sih. Kalau Kakak larinya kencang, bisa cepat sampai finish." J

adi, mengatakan bahwa kekalahannya itu logis karena tak ada usaha, sebenarnya sudah merupakan punishment buatnya. Bahkan, tangis dan rasa sedih anak karena kekalahannya saja sudah merupakan punishment bagi anak. "Yang penting, saat ia sedih, kita bangkitkan kembali semangatnya. Jadi, jangan lantas malah dimarahi karena akan tambah memperkecil hatinya; ia makin kurang percaya diri nantinya." Tapi bila dalam kekalahannya itu kita berkata, "Mungkin gambar mereka lebih bagus, ya, Dik, sehingga menang. Tapi gambar Adik bagus, kok, buat Mama. Yuk, kita pajang di rumah!" Dengan demikian anak tahu bahwa rewards-nya ada juga, yaitu dengan orang tua menghargai gambarnya.

Akhirnya, Rose Mini menyarankan orang tua agar mendorong anak untuk rajin ikut lomba, entah lomba menggambar, lari, atau kegiatan lainnya. Meski dalam lomba tersebut ia tak menang, tak apa-apa. Karena yang dicari bukan menangnya saja, tapi proses untuk mengetahui bagaimana rasanya ikut lomba, bagaimana ia harus memenuhi waktu yang tersedia.  

Indah Mulatsih/nakita