Si Kecil Suka Mengatur

By nova.id, Minggu, 15 Agustus 2010 | 17:57 WIB
Si Kecil Suka Mengatur (nova.id)

ADA MODEL LAIN

Begitu pula bila anak mengatur teman bermainnya, tak jadi soal selama positif. Tapi kalau mengaturnya berlebihan, misalnya, anak selalu ingin menaiki sepeda kepunyaan temannya tanpa memberi kesempatan si pemilik untuk naik, "orang tua harus memberi pengarahan," ujar Dewi. Misalnya, dengan menekankan bahwa selama sepeda itu bukan miliknya, ia tak boleh bersikap seperti itu.

"Sebaliknya, kalau sepeda itu miliknya, anak juga harus memberi kesempatan kepada anak lain untuk mencoba naik sepedanya." Jadi, orang tua bisa memberi pengertian anak. Tentu saja dengan bahasa anak, kenapa ia tak boleh berlaku seperti itu. "Orang tua harus membuat rambu-rambu bagi anak, mana yang boleh dan tak boleh dilakukan." Kalau tidak, anak akan menjadi tak tahu aturan. Misalnya, main perintah kepada setiap orang, sopan ataupun tidak. Disamping, kalau anak dibiarkan dan selalu diikuti apa maunya, maka ia bisa menjadi seorang yang egois. Namun pengertian saja tak cukup. "Anak juga butuh melihat figur atau model lain yang sebaya. Anak dilibatkan dengan banyak anak yang seusianya. Misalnya, dengan memasukkan anak ke play group. Dengan begitu, anak bisa belajar dari lingkungan." Jadi kalau ia selalu mengatur temannya, kita bisa bilang,

"Kalau Ade selalu mengatur begitu, nanti teman-teman enggak suka sama Ade, lo." Pentingnya model lain yang sebaya, terang Dewi, karena anak belum bisa berpikir abstrak. Misalnya, kita bilang burung gagak itu warnanya hitam tapi anak tak pernah melihat seperti apa itu burung gagak, maka ia tak akan tahu. Lain hal kalau burung gagaknya ditunjukkan, ia akan tahu. Yang juga penting, jangan lupa memberi reward saat anak berbuat positif. "Banyak orang tua yang hanya bereaksi saat anak berbuat salah. Padahal seharusnya dibalik, bereaksilah saat anak berbuat positif karena anak akan mengulangnya," tutur Dewi.

TOLERANSI ORANG TUA

Dewi juga menganjurkan agar orang tua tak lupa untuk berdialog dengan anak. "Dalam kondisi apapun, entah anak lagi senang atau susah, orang tua harus mengajari anak bagaimana cara berkomunikasi yang baik. Jadi, anak belajar mengungkapkan perasaannya." Ini juga merupakan kunci supaya anak memiliki sikap yang baik. "Bukankah semakin usia bertambah, permasalahan akan semakin besar? Jadi, kalau sejak kecil enggak kita latih, akhirnya anak akan melakukan itu di lingkungan sosialnya."

Misalnya, karena sedang capek, ibu lantas marah dan memukul ketika anak terlalu mengatur. Anak akan belajar, oh, begitulah caranya. Maka, ketika temannya enggak menurut, dipukullah si teman. "Jangan lupa, nalarnya belum jalan. Karena itu dalam membuat aturan, orang tua harus konsekuen. Semakin besar, nalar anak akan semakin berkembang." Orang tua juga harus introspeksi, apakah kebutuhan anak sudah terpenuhi, apakah pola asuh yang mereka berikan pada anak sudah betul, apakah mereka sudah konsekuen.

"Tentunya juga, apakah mereka sudah berkomunikasi dengan baik pada anak. Dalam arti, anak sudah bisa mengutarakan isi hatinya tanpa rasa takut, baik waktu susah atau gembira." Misalnya, anak bikin salah, ia harus berani bilang. "Ini yang sehat," ujar Dewi. Untuk itu, lanjut Dewi, dibutuhkan toleransi orang tua. Orang tua harus tegas tapi juga luwes, jangan terlalu longgar dan jangan terlalu keras.

"Kadang, toleransi orang tua untuk melihat perubahan kurang besar. Akhirnya orang tua merasa, kok, ini anak menggurui saya. Padahal kalau mau sedikit mengalah, anak akan berkembang menjadi pribadi yang baik. Pengarahan yang baik akan membawa anak ke arah kematangan." Jadi, tandas Dewi, kuncinya ialah pengarahan, kesabaran dan toleransi orang tua dalam menghadapi perubahan ke arah kematangan anak. Lagi pula, "aturan anak, kan, enggak berlebihan. Kecuali memang kondisi kita lelah, nggak ada salahnya meluangkan waktu untuk anak." Nah, sudah enggak kesal lagi, kan, dengan aturan si kecil?  

 Hasto Prianggoro / nakita