GAGAL TUMBUH
Dampak dari pica ini, terang Aman, adalah gangguan intoksikasi (keracunan) timah. Misalnya, karena anak makan cat. "Secara umum, karena ia makan segala macam benda, maka anak juga bisa terkena diare, infeksi, anemia, cacingan, atau kekurangan vitamin. Tetapi hasil akhir yang paling buruk adalah gangguan pertumbuhan dan gagal tumbuh. Misalnya, anak bisa jadi kecil dan pendek." Memang, diakui Aman, anak dengan kebiasaan pica pun bisa saja makan makanan lain. "Tetapi, karena sudah jadi kebiasaan, maka ia kadang menolak makan makanan lain seperti sayur atau daging. Nafsu makannya juga berkurang, karena sudah terbiasa makan benda-benda tadi."
Sementara pada anak yang terlantar, timpal Ike, yang dikhawatirkan adalah dampak terlantarnya. "Keterlantarannya itu yang dampaknya sangat besar. Makan itu, kan, hal pokok. Separah-parahnya orang tua menelantarkan anak, biasanya masih memperhatikan makanan anaknya. Nah, jika hal yang dasar, yaitu makan, tidak diperhatikan, bagaimana dengan keselamatan dan perkembangannya. Jadi, faktor keterlantarannya itu yang sebetulnya mempengaruhi secara psikologis, bukan pica-nya," tandas Ike.
INTERDISIPLIN
Penanganan anak dengan pica, menurut Aman, memang agak kompleks. "Penanganannya harus interdisiplin. Yaitu ditangani oleh dokter anak untuk masalah gizi dan nutrisinya, sedangkan masalah emosinya ditangani oleh psikiater. Di luar negeri bahkan ada social workers dan perawat public health khusus untuk merawat anak pica ini." Yang jelas, lanjut Aman, jika orang tua cermat, mereka akan tahu apakah anaknya pica atau tidak. "Misalnya anak sering sakit, suka muntah-muntah, keinginan bermain kurang, anak kurang aktif, atau menolak makan makanan yang umum," ujar Aman.
Sementara Ike menekankan, "Sebetulnya yang paling harus dilakukan adalah mendampingi dan mengawasi anak. Juga harus diperhatikan, apakah memang makanan di rumah jarang, sehingga anak sampai makan benda-benda asing, khususnya jika penyebabnya adalah karena anak diterlantarkan," ujar Ike. Karena, mungkin saja si anak memiliki kebutuhan makanan yang lebih, sementara orang tuanya tidak menyediakan makanan, sehingga akhirnya anak melakukan pica tersebut. "Seperti bayi, kalau ia nggak dikasih makan, ia akan menghisap jari-jarinya. Demikian juga untuk balita. Kalau nggak ada makanan tersedia dengan cukup, ya, apa saja yang ada di sekitarnya akhirnya dimakan."
PERAN ORANG TUA
Untuk mengatasinya, ujar Ike, harus dilihat dulu apakah anak memiliki keterbelakangan mental atau autis. "Sebab, jarang ditemukan, anak yang intelegensinya normal dan dirawat dengan baik memiliki kebiasaan ini." Jadi, lanjut Ike, yang harus diatasi adalah keterbelakangan mental atau autismenya terlebih dulu.
"Ini perlu latihan dengan teknik khusus. Kalau kita tahu anak kita mentalnya terbelakang, harus diberikan pengawasan dan perawatan ekstra dibandingkan pada anak normal. Orang tua harus teliti dan mengawasi betul anaknya." Sementara pada kasus anak terlantar, lanjut Ike, "Tipsnya cuma satu, yaitu jangan diterlantarkan lagi." Kalau perlu serahkan pada orang lain yang bersedia merawatnya atau mengadopsinya. Tentunya yang tak boleh dilupakan, orang tua juga harus mengajarkan, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dimakan oleh anak.
"Namanya juga anak kecil, kalau kita nggak teliti, ya akhirnya keterusan. Ketemu semut pun akan dimakan." Selama orang tua tidak mengajarkan anak untuk membedakan mana yang bagus, mana yang enak, kebiasaan ini tidak akan hilang. Namun jika sudah diberi tahu, maka biasanya anak pun akan tahu dan tak memakannya. Lain halnya jika anak itu anak autis atau terbelakang mental.
"Kebiasaan pada anak-anak demikian memang agak susah dihilangkan, karena perilakunya sudah terbentuk. Mungkin butuh teknik tertentu untuk mengajari mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dimakan," ujar Ike. Jadi, kini Bapak dan Ibu lebih tahu bahwa memang tugas orang tualah untuk menjadi lebih cermat lagi dalam merawat anak-anak. Setuju, ya!
Hasto Prianggoro/nakita