Jangan lupa, ingat Jo, tahapan usia ini juga merupakan fase bereksplorasi. Anak ingin mencoba berbagai hal. Salah satunya ialah "bermain sulap" yang merupakan perwujudan kreativitas dan imajinasinya. "Jika langsung di-cut, biasanya akan muncul perasaan ragu-ragu dan takut untuk melakukan sesuatu. Anak jadi tak punya keyakinan bahwa ia punya kebebasan untuk bisa mengembangkan dirinya. Anak juga akan merasa malu, gagal, dan nggak membanggakan orang tuanya. Akibatnya, anak akan down."
BUTUH PERHATIAN
Namun demikian, orang tua juga perlu mencermati, apakah si kecil "bermain sulap" lantaran ingin diperhatikan. Sebab, terang Jo, "bermain sulap" juga bisa menjadi tanda anak butuh perhatian. "Misalnya, orang tua terlalu sibuk dan tak selalu memperhatikan. Nah, ini akan membuat anak berusaha mencari perhatian orang tua." Apalagi jika orang tua justru merasa terganggu dengan aksi-aksi anak. Bila anak tak diperhatikan, lanjut Jo, berarti ada kebutuhan yang tak terpenuhi, sehingga apapun yang ia lakukan adalah sesuatu yang menuntut perhatian orang tua. Misalnya, sedikit-sedikit menangis atau sebentar-sebentar mengganggu orang tua, maupun menunjukkan pola tingkah aneh-aneh yang akhirnya membuat orang tua mau tak mau harus memperhatikannya. "Jadi, segala sesuatu yang ia lakukan akhirnya tujuannya untuk mendapatkan perhatian orang tua."
Oleh karena itu, orang tua harus cukup peka terhadap perilaku anak. Yang juga penting, bila anak "main sulap"nya tanpa mengenal waktu atau tak bisa dihentikan, orang tua harus memberikan pengertian. Misalnya, ketika ibu atau ayah sedang berbicara dengan tamu, ia seharusnya tak berbuat macam-macam. "Lain halnya, bila atraksinya itu dilakukan dalam rangka bermain bersama orang tua, ya, enggak apa-apa."
IMAJINASI BISA BERBEDA
Perlu diketahui, tambah Jo, "bermain sulap" tak harus terjadi di usia batita. Maksudnya, tak setiap anak usia ini pasti akan "main sulap". "Ada berbagai macam bentuk permainan yang menunjukkan perkembangan kognitif anak dan kemampuan imajinasinya. Sehingga, anak yang satu dan lain bisa berbeda dalam melakukan simbolisasi dari pengekspresian ide-idenya. Jadi, tak harus melalui fase "bermain sulap" ini," terangnya,
Hal ini disebabkan antara lain dari stimulus imitasi yang diterima anak. "Kalau ia tak pernah melihat orang main sulap, mungkin ia tak akan melakukannya." Selain itu, kemampuan antara satu anak dengan anak lain juga belum tentu sama, karena faktor lingkungan juga menentukan. "Bisa saja stimulus yang diterima anak itu sama, tapi yang satu pernah melihat orang main sulap sementara yang lain melihat orang baku-tembak. Mereka sama-sama berimajinasi, tapi imajinasinya berbeda.
Anak yang pernah melihat orang main sulap akan 'bermain sulap', sedangkan yang melihat orang baku-tembak akan bermain perang-perangan." Jadi, Bu-Pak, tak usah khawatir bila si kecil tak pernah "main sulap" sementara anak tetangga melakukannya. Yang jelas, setiap anak akan melewati proses perkembangan kognitif yang sama. Namun dalam perkembangannya, ada yang cepat dan ada yang lambat, ada yang banyak ide dan tidak, ada yang bagus di imajinasi tapi ada juga yang bagus di motoriknya.
Hal ini tergantung stimulus yang diterima dan faktor lingkungan, disamping faktor minat. "Ada, lo, anak kecil yang sudah bisa main musik, karena minatnya memang di situ dan lingkungannya juga mendukung." Yang terpenting adalah memahami bahwa tahapan usia ini merupakan fase bermain dan imajinasi memegang peranan yang cukup kuat. Imajinasi sendiri menunjukkan perkembangan kognitif anak. Jadi, bermain, imajinasi dan perkembangan kognitif adalah dunia anak.
"Nah, untuk mengembangkan aspek-aspek kognitif anak sangat dipengaruhi oleh stimulus yang bersifat material. Misalnya, kesempatan bagi anak untuk bermain yang bisa mengembangkan imajinasinya. Disamping tentunya anak juga perlu perhatian dan respon yang tepat," tutur Jo.
Hasto Prianggoro/ nakita