Bolehkah Anak Jajan

By nova.id, Kamis, 22 Juli 2010 | 09:33 WIB
Bolehkah Anak Jajan (nova.id)

Asal orang tua mengontrol, tak apa-apa si kecil jajan. Soalnya, jajan juga punya nilai positif, lo.

Hampir bisa dipastikan, tak ada anak kecil yang tak doyan jajan. Iya, kan! Seringkali dorongan untuk jajan ini begitu kuat sehingga sebentar-sebentar si anak minta jajan. Kalau nggak dikasih, malah mengamuk. Tentunya ini bikin kesal orang tua. Malah kadang, si anak langsung memanggil tukang jajanan yang lewat, baru kemudian memberi tahu orang tua.

Tampaknya dorongan untuk jajan tak bisa dilepaskan dari tahapan perkembangan anak. Seperti dikatakan Dra. Zamralita, usia prasekolah merupakan periode di mana rasa ingin tahu anak sangat tinggi dan anak pun tengah bereksplorasi. Nah, dalam kaitan dengan jajan, anak ingin sesuatu yang ia belum tahu, entah itu rasa maupun bentuknya. Dari situ, anak kemudian ingin mencicipi. "Awalnya mungkin hanya untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Tapi setelah ia coba, kok, ia cocok dan merasakan enak. Akhirnya keterusan, ia jadi doyan jajan," ujar Lita, panggilan akrab staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara ini.

Pengaruh iklan di TV juga cukup besar dalam mendorong hobi jajan pada anak. Terlebih lagi iklan-iklan produk untuk anak biasanya juga menggunakan bintang cilik sebagai daya tarik. "Nah, dengan kondisi perkembangan anak yang demikian, ditambah pengaruh iklan TV, maka si anak pun tertarik dengan makanan yang diiklankan." Sehingga sering terjadi, meski si anak sebenarnya tak tertarik dengan makanan yang diiklankan, tapi lantaran sang bintang adalah favoritnya maka ia pun minta dibelikan makanan tersebut karena ingin sama dengan bintang pujaannya.

Namun tak jarang pula, orang tuanya yang salah. Karena melihat anaknya begitu tertarik pada iklan sebuah produk makanan di TV, dikiranya si anak menginginkan makanan tersebut. Maka ketika si anak diajak ke pasar swalayan, dibelikanlah makanan tersebut meskipun si anak tak minta. "Padahal, mungkin si anak hanya tertarik pada bintang iklannya atau kemasannya saja."

Selain itu, kebiasaan jajan pada anak juga bisa disebabkan oleh peniruan. Jangan lupa, anak usia ini belajar dari meniru dan ia pun sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan karena rasa ingin tahunya yang tinggi. Misalnya, ayah atau ibu suka sekali jajan. Nah, anak pun akan meniru kebiasaan tersebut.

JADI SULIT MAKAN

Tentunya kebiasaan jajan bisa berdampak negatif pada anak. Antara lain, anak menjadi sulit makan. Namun dampak ini bisa dikurangi apabila pola makan anak sudah terbentuk. "Biasanya pada usia 4-5 tahun, pola makan anak sudah terbentuk. Kapan ia harus sarapan, makan siang dan malam. Jadi anak sudah tahu, yang utama adalah makan dan jajan hanya sebagai pelengkap," terang Lita. Tapi tidak demikian bila pola makan anak belum terbentuk, yang utama adalah jajan dan makan hanya sebagai pelengkap.

Kebiasaan jajan juga akan membuat anak terbiasa menghabiskan banyak uang. "Apalagi jika ia tahu bahwa segala permintaannya pasti dipenuhi, sehingga kalau tak dipenuhi ia pun mengamuk. Nah, ini bisa menjadi senjata bagi anak. Akibatnya, perilaku yang terbentuk pun enggak baik. Pokoknya, apa-apa harus dipenuhi." Jeleknya lagi, anak yang terbiasa jajan juga akan terbiasa meminta jajan, bahkan kepada orang lain sekalipun.

Namun begitu, jajan juga memiliki sisi positif, lo. Antara lain, bisa menjadi sarana bersosialisasi bagi anak. Misalnya, mengobrol dengan teman sebaya tentang makanan baru seperti yang diiklankan TV. Kalau anak belum tahu atau belum mencoba makanan baru tersebut, tentunya ia tak akan bisa mengikuti obrolan teman-temannya yang sudah mencicipi makanan itu. "Jajan juga akan melatih kemampuan komunikasi pada anak. Entah komunikasi dengan penjual, ibunya, atau orang lain," lanjut Lita.

Yang tak kalah penting, dengan jajan, anak bisa mengenal berbagai jenis makanan. Misalnya, makanan daerah, bukan cuma fast food. Bentuk dan warna makanan yang semakin beragam juga bisa digunakan untuk mengenal bentuk dan warna. Begitu pula dengan rasa makanan yang beraneka ragam akan semakin menambah pengetahuan dan wawasan anak.

BOLEH JAJAN ASAL TERKONTROL

Jadi, sebenarnya sah-sah saja bila anak jajan. Yang harus diperhatikan adalah jenis jajanannya. Jangan sampai anak jajan makanan yang tak terjamin kebersihan dan gizinya, karena dampaknya terhadap kesehatan anak. "Jajanan yang lewat relatif tak bisa dijamin kebersihannya dan gizinya pun diragukan. Anak sebaiknya diberi pengertian bahwa ia boleh jajan asalkan bersih dan bergizi," tutur Lita.

Kebiasaan jajan makanan yang lewat, menurut Lita, terbentuk dari orang tua atau lingkungan. "Sebetulnya anak, kan, tak mengenal. Jadi, orang tua harus kontrol dulu. Jangan melarang anak jajan, tapi ketika ada tukang bakso lewat, orang tua sendiri asyik memanggil dan membeli."

Orang tua juga harus memperhatikan jumlah dan harga makanan jajanan tersebut. Misalnya, boleh jajan tapi hanya satu jenis makanan saja dan jumlahnya tidak banyak. Jangan sampai anak jajan cokelat, misalnya, tapi sekali jajan sampai 5 buah cokelat dan semuanya dimakan sekaligus. "Kalau anak beli lebih dari satu jajanan, sebaiknya orang tua yang menyimpankan agar tak dihabiskan pada saat itu juga oleh anak." Harga jajanan tentunya dipilih yang relatif tak mahal untuk ukuran anak. Waktu jajan pun harus dibatasi. Kalau anak jajan setiap saat, tak heran bila akhirnya anak susah makan karena ia sudah kenyang duluan oleh jajanan.

Kemudian, kalau anak kondisi kesehatannya lagi kurang bagus, sebaiknya anak tak diijinkan memilih jajanan sendiri. "Orang memutuskan. Karena kalau kondisi badannya enggak fit, maka jajanan bisa menimbulkan penyakit." Apalagi kalau di rumah ada anggota keluarga lain semisal kakek-nenek, biasanya mereka akan lebih tak tega.

BERI PENGARAHAN YANG JELAS

Seringkali anak ngambek atau malah mengamuk kala dilarang jajan. Menurut Lita, orang tua harus bersikap tegas. Dengan demikian anak belajar bahwa kalau orang tua sudah mengatakan "tidak" maka berarti memang "tidak". Ini juga untuk mendidik anak agar tak jadi rakus. "Tapi orang tua juga jangan hanya sekadar melarang tanpa anak diberi penjelasan kenapa ia tak boleh jajan," lanjut Lita.

Bila anak terbiasa dilarang tanpa ada penjelasan yang masuk akal, terang Lita, "akan membuat anak jadi takut." Misalnya, anak diajak jajan oleh temannya, maka ia akan menolak, "Enggak mau, ah, nanti aku dihukum Papa." Jadi, anak menganggap jajan identik dengan kemarahan orang tua. "Bisa-bisa anak akan menghindar setiap kali teman-temannya jajan. Tentunya ini enggak bagus buat perkembangan anak. Terlebih lagi bila orang tua sampai melarang anak ke luar rumah karena takut ia akan jajan, anak akan terisolir." Tentunya lama-lama anak akan jadi kuper alias kurang pergaulan.

Jadi, tandas Lita, jelaskan kepada anak mengapa ia tak boleh jajan. Misalnya, "Kamu nggak boleh jajan gorengan di pinggir jalan karena tak bersih. Bukan berarti Ayah enggak sayang sama kamu atau Ayah lebih sayang sama uang, tapi demi kebaikan kamu supaya kamu enggak sakit." Selain itu, tambahnya, orang tua sebaiknya juga memberikan pengarahan yang jelas kepada anak bahwa ia boleh jajan dengan syarat-syarat. Sehingga anak tahu, mana jajanan yang boleh dibeli dan tidak, kapan saja ia boleh jajan, berapa banyak jajanan yang boleh dibeli, dan sebagainya.

AJARKAN UNTUK OMONG LEBIH DULU

Tak jarang terjadi, anak sudah langsung memanggil penjual yang lewat tanpa ngomong lebih dulu pada orang tua. Atau, di supermarket anak asyik memasukkan jajanan yang dipilihnya ke dalam keranjang tanpa orang tua tahu, sehingga orang tua terkaget-kaget ketika hendak membayar di kasir. "Biasanya ini merupakan salah satu cara anak agar keinginannya dipenuhi," ujar Lita.

Saran Lita, anak sebaiknya diajarkan untuk omong lebih dulu kepada orang tua jika menginginkan sesuatu. Bisa juga orang tua membuat perjanjian dengan anak. Misalnya, "Sekarang kita mau ke supermarket tapi kamu hanya boleh membeli sebuah cokelat." Atau, anak diijinkan untuk memilih satu jenis jajanan yang ia inginkan dan hanya boleh membeli satu buah saja. Bila anak melanggar atau meminta lebih, ya, orang tua tetap harus konsisten. Jangan sampai karena orang tua merasa malu lantaran anaknya mengamuk di supermarket, maka dipenuhilah keinginan si anak. "Ingat, tangisan atau amukan tersebut bisa menjadi senjata bagi anak untuk mengulangi perbuatannya."

Menurut Lita, terhadap anak usia prasekolah, orang tua harus tegas dalam memberlakukan aturan. Karena usia tersebut merupakan periode di mana anak sedang susah diatur. "Ini sering disebut juga problem age, karena orang tua sering dihadapkan pada problem tingkah laku. Anak membangkang, keras kepala, dan sebagainya."

Tapi orang tua hendaknya juga jangan lupa memberi reward bila anak melakukan apa yang orang tua minta. Misalnya, selama seminggu anak mampu jajan hanya sekali. Nah, di akhir pekan orang tua mengajak anak makan di suatu tempat yang ia pilih sendiri. "Tujuannya agar anak tetap konsisten mentaati peraturan," jelas Lita. "Tapi kalau anak sudah bisa dibentuk, reward-nya cukup hanya berupa pujian saja," lanjutnya. Sebaliknya, bila anak melanggar aturan, maka ia harus diberi tahu dan menerima konsekuensinya.

Hasto Prianggoro.

Foto : Iman(nakita)