Ketakutan Anak Bukan Fobia

By nova.id, Senin, 10 Mei 2010 | 17:09 WIB
Ilustrasi anak (Freepik)

Bila si kecil takut pada sesuatu, jangan buru-buru mengatakannya fobia. Mengapa? Apa sih fobia itu ?

Menurut Dr. Dwidjo Saputro, SpKJ, tak semua rasa takut dapat dikatakan fobia. Karena fobia merupakan suatu mekanisme yang unik, sebagai reaksi terhadap situasi tertentu. "Bisa jadi karena anak mempunyai pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan. Pengalaman ini kemudian selalu dijadikan rujukan untuk menghadapi situasi yang hampir sama di masa mendatang," tutur psikiater anak ini.

Misalnya, bayi usia 3 bulan yang secara tak sengaja pernah tertutup bantal sampai sesak nafas. Dalam benaknya, pengalaman "tertutup" ini diartikan sebagai situasi yang menakutkan. Sehingga ketika ia menghadapi ruang tertutup seperti lift di kemudian hari, bayangan yang menakutkan itu bisa saja langsung muncul.

Jadi, "Fobia merupakan perasaan ketakutan dan kecemasan yang tak rasional," terang pendiri Klinik Perkembangan Anak dan Kesulitan Belajar (KPAKB)Jakarta ini.

WAJAR ANAK TAKUT

Fobia, menurut Dwidjo, biasanya ditemui pada anak usia 12 tahun ke atas. Karena di usia tersebut, anak sudah memiliki kemampuan berpikir rasional. "Ketika anak tak bisa melihat obyek-obyek atau situasi tertentu secara rasional sehingga menimbulkan ketakutan, saat itulah ia dikatakan fobia."

Itulah mengapa Dwidjo tak setuju istilah fobia digunakan pada anak usia balita yang belum bisa berpikir secara rasional. "Anak balita itu, kan, kemampuan dan cara berpikirnya masih dalam tahap perkembangan. Sehingga dia belum ada data yang lengkap untuk bisa memahami suatu situasi atau obyek tertentu."

Kendatipun di usia balita anak memiliki rasa takut ataupun cemas, namun hal itu wajar. Karena, "Dalam perkembangannya, rasa cemas atau takut pada anak selalu ada." Misalnya, anak takut pada orang asing, takut ditinggal sendirian, takut pada kucing dan sebagainya. "Secara emosional, ketakutan ini merupakan salah satu bentuk naluriah yang menjadi respon terhadap pengalaman tertentu."

Yang penting, jangan sampai ketakutan/kecemasan tersebut menjadi berlebihan, tak wajar dan tak rasional. Karena pada akhirnya bisa menjadikan si anak fobia.

PRIMER DAN SEKUNDER

Sebenarnya, terang Dwidjo, sejak manusia lahir sudah ada rasa cemas, yang disebut kecemasan primer. Contohnya, bayi begitu lahir langsung menangis. Nah, tangisan ini merupakan ekspresi dari rasa cemasnya. "Tapi rasa cemas itu bukan sebagai reaksi terhadap sesuatu, melainkan hanya suatu bentuk emosi saja."

Secara mental, terangnya lebih lanjut, memang pengalaman baru yang dialami si bayi inilah yang menimbulkan kecemasan. Tapi apa obyeknya yang menyebabkan timbulnya kecemasan itu, sulit diketahui secara pasti. Karena hal ini merupakan fenomena psikologi yang tak disadari anak.