Anak Jadi Juara Bukanlah Segalanya

By nova.id, Kamis, 22 April 2010 | 17:09 WIB
Anak Jadi Juara Bukanlah Segalanya (nova.id)

Anak Jadi Juara Bukanlah Segalanya (nova.id)

"Iman Dharma/nakita "

"Kemarin anakku jadi juara lagi, lo." Bangga, kan? Ya, begitulah orang tua.Kalau mau jujur, setiap orang tua pasti ingin anaknya berprestasi. Makanya, tak heran kalau banyak orang tua yang begitu antusias mengikutsertakan anaknya dalam berbagai lomba. Bahkan, sejak bayi sudah diajak berlomba. Agak besar sedikit, si kecil pun dikursuskan supaya bakatnya makin berkembang. Alhasil, piala kemenangannya pun makin banyak. Coba, siapa yang enggak bangga?

Tapi apakah benar anak balita sudah bisa berprestasi? Ternyata, tidak! Seperti dituturkan Dra. Shinto B. Adelar, MSc. dari Fakultas Psikologi UI, anak usia balita belum bisa berprestasi di bidang apa pun. Karena, "Yang namanya prestasi itu harus ada usaha terus-menerus dan tekun di satu bidang. Jika dari kecil ia kontinyu menekuni satu bidang tertentu, dilatih, dan didukung lingkungan sekelilingnya, maka akan bisa menunjukkan prestasinya kelak. Contohnya, pecatur Utut Adianto atau pebulutangkis Mia Audina."

Juara menyanyi, menggambar, dan lainnya di usia balita, kata Shinto, bukanlah prestasi. "Mungkin saja ia memang berbakat di bidang itu dan tanpa usaha pun, hasilnya akan bagus. Jadi, wajar saja. Tak perlu dibangga-banggakan." Tinggal selanjutnya bagaimana orang tua mengembangkan bakat tersebut agar kelak si anak bisa berprestasi. Kalau tidak, "Juara-juara di usia dini ini tak akan bertahan."

MASIH BERKEMBANG

Menurut Shinto, usia 3-5 tahun bukanlah usia untuk berprestasi. "Anak usia 3-5 tahun masih dalam usia perkembangan. Jadi, masih banyak aspek yang harus dikembangkan. Baik aspek fisik, intelektual, emosi, maupun aturan bertingkah laku."

Secara fisik, misalnya, konsentrasi koordinasi motorik kasar maupun halus. Ia harus bisa menjaga keseimbangannya agar dapat berjalan dengan benar, terampil melompat, memanjat, naik sepeda, main tali, dan sebagainya. Begitupun motorik halusnya, bagaimana ia mengkoordinasikan apa yang dilihat dengan gerakan tangannya.

Dari sisi inteligensi, antara lain kemampuan konsentrasi, ketajaman persepsi, dan daya tahan untuk menuntaskan suatu tugas tertentu. Perkiraan mengenai orientasi keruangan, jumlah, waktu, dan sebagainya, juga masih harus dikembangkan. Demikian pula kemampuan verbalnya: bagaimana mengembangkan kosa kata dan mengekspresikan keinginan maupun perasaannya.

Dari aspek emosi, misalnya, anak masih harus belajar untuk lebih mengerti perasaan-perasaannya. Entah itu sedih, senang, kesal, marah, dan sebagainya sehingga ia dapat mengekspresikannya secara benar. Kecerdasan emosional ini sangat penting agar anak dapat mengendalikan emosinya. Kalau tidak, ia akan diatur oleh perasaannya. Hal mana dapat mempengaruhi performance-nya kelak dalam pekerjaan dan tingkat keberhasilannya.

Sementara aturan tingkah laku mencakup pengembangan kemampuan bergaul dengan anak lain, sehingga anak tahu perilaku mana yang boleh dan tidak. Harap diingat, anak usia ini masih egosentris. Ia harus dilatih untuk berbagi dan mengerti perasaan/keinginan orang lain, yang akan membantunya mengontrol dan mematangkan emosinya.

Nah, semua aspek perkembangan tersebut masih perlu dimantapkan di usia ini. Kalau tidak, akan mempengaruhi konsep diri dan kemampuan si anak ketika tiba saatnya untuk berkompetisi, yaitu di usia Sekolah Dasar. Jadi, tandas Shinto, "Janganlah anak usia ini disuruh cepat-cepat berprestasi karena perkembangannya belum sempurna. Kecuali anaknya jenius. Tapi itu pun jarang sekali."