Demikian pula dengan bahasa asing. "Anak-anak belajar lebih pada meniru dengan melihat sesama orang tua atau dengan orang lain berbicara dalam bahasa asing," kata Dieny. Jadi, orang tua bukan dengan sengaja mengajarkan, tapi si anak sendiri yang karena sering mendengar, akhirnya jadi terbiasa, lalu memilih sendiri agar ia bisa berkomunikasi dengan orang tuanya atau lingkungannya.
Perangsangan juga bisa dilakukan dengan membacakan buku cerita berbahasa asing yang lalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Atau lewat nyanyian/lagu berbahasa Inggris, gambar-gambar yang ada tulisan bahasa Inggris dan terjemahannya, atau dari tontonan di TV, dan sebagainya. Umumnya, lanjut Dieny, anak akan bertanya, "Apa, sih, artinya, Bu?" Setelah diberi tahu, lama-lama akan timbul asosiasinya. Dan ketika ia bisa, orang tua memberi reward dalam bentuk pujian. "Anak pun semakin bersemangat," tukasnya.
Dengan tanpa paksaan, lanjut psikolog yang tengah menjalani pendidikan program doktor ini, anak akan mengambil bahasa itu secara spontan, enak, dan berani. Ia pun tak takut untuk mengungkapkannya, karena tak diliputi oleh perasaan takut salah. "Bahasa asing itu bukan menjadi bahasa yang 'asing', tapi memang sesuatu yang bisa dia pakai untuk berkomunikasi. Nah, itu yang mungkin akan lebih banyak membantu anak untuk lebih cepat menangkap apa yang ia butuhkan," terangnya.
Kekhawatiran terhadap perkembangan bahasa ibu si anak akan terhambat pun, menjadi tak beralasan. "Kalau sudah 3 tahun, tentunya sudah bisa, dong, berbahasa Indonesia. Jadi, dengan menambahkan bahasa asing, apalagi diberikan sebagai bahasa yang tak dipaksakan, tak akan mengganggu bahasa ibu. Toh, di rumah pun si anak tetap dibiasakan dengan bahasa ibunya," tutur lulusan Fakultas Psikologi UI ini.
LEWAT "SEKOLAH"
Bagaimana kalau panggil guru les ke rumah? Menurut Dieny, boleh-boleh saja. Hanya, ya, itu tadi, tergantung metodenya. "Guru les biasanya takut sekali pada orang tua anak jika anaknya tak bisa berbahasa Inggris. Jadi, saya khawatir, si guru bukannya merangsang tapi mengajarkan," papar anggota World Council for Gifted Children ini.
Dieny melihat, banyak orang tua berharap anaknya akan belajar jika dipanggilkan guru. "Jadi, kalau dia lihat gurunya cuma main-main, dipikirnya si guru tak serius. Di sisi lain, guru merasa kesulitan menerangkan metode yang tepat pada orang tua," tuturnya.
Hal lain yang mengkhawatirkan adalah anak merasa tak suka. Beda dengan jika ia "bersekolah" (bukan privat). "Di 'sekolah', kan, dia bisa main dengan teman-temannya. Ia juga jadi lebih termotivasi karena melihat teman-temannya berbahasa Inggris," terang Dieny.
Tapi kalau Anda ingin memasukkan si kecil ke "sekolah" berbahasa Inggris, perhatikan metode pembelajarannya. Karena, kata Dieny, ada "sekolah" yang mengharuskan anak didiknya ngomong ataupun menjawab dalam bahasa Inggris. Kalau tidak, si anak dihukum. Guru pun menerangkan dalam bahasa Inggris tanpa terjemahan. "Pokoknya, anak harus mengerti! Nah, ini yang bikin anak jadi takut. Bukan tak mungkin anak jadi mogok 'sekolah' dan tak mau 'sekolah'lagi," katanya. Karena itulah, tekan Dieny, guru maupun orang tua harus menyadari, bahasa asing bukan bahasa kedua kita.
"Sekolah" yang baik, lanjutnya, tak mengharuskan anak berbahasa Inggris. "Kalau anak enggak mau menjawab atau ngomong dalam bahasa Inggris, ya, enggak apa-apa. Tak ada hukuman atau sanksi," tandas penanggung jawab Biro Konsultasi Psikologi Esa Nara Yasa ini. Hafalan dan pekerjaan rumah pun tak ada. Pokoknya, cara belajarnya lewat bermain. Entah lewat dongeng, games, atau lagu.
MINAT
Nah, sebagai orang tua, kita tak perlu berharap banyak bahwa si kecil bisa segera mahir berbahasa asing kendati sudah dimasukkan ke "sekolah" berbahasa Inggris. Selain karena proses belajar berlangsung secara bertahap, tergantung pula pada motivasi si anak. "Kalau dia tak tertarik, ya, susah. Juga kalau dia tak merasa perlu untuk berkomunikasi dengan lingkungannya, ya, tak akan tertarik," kata Dieny.