Agung Nugroho Susanto, Kisah Sukses Bisnis Laundry Kiloan di 101 Kota

By nova.id, Rabu, 12 Agustus 2015 | 06:15 WIB
Agung Nugroho Susanto (Foto: Dok Pri) (nova.id)

Sebenarnya, membesarkan jaringan bisnis bukan hal baru bagi saya. Kalau sekarang saya berani mengemudikan 4 jenis bisnis sekaligus, bukannya tanpa ilmu. Saya memiliki teori, praktik lapangan plus pengalaman keras membesarkan bisnis yang sebelumnya pernah saya bangun.

Kendati bukan keturunan pengusaha, saya sebetulnya sudah berbisnis sejak duduk di semester 2, kala menimba ilmu di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Awalnya, saya mencoba berbisnis distro bersama rekan saya, lalu pindah ke bisnis ponsel, tepatnya konter ponsel. Dua bisnis pertama ini tidak sukses lantaran ada perbedaan visi dan misi dalam pengelolaan.

Tak mau hanya hidup sebagai mahasiswa dan ngekos jauh dari orangtua, saya kemudian melirik bisnis jasa mencucikan baju alis laundry. Di tahun 2004-2006, bisnis jasa laundry memang belum dilakukan secara profesional. Yang ada baru bisnis cucian berskala rumah tangga yang dilakukan ibu-ibu dengan pelanggan terbanyak mahasiswa kos. Saya pikir, ini kalau dikelola secara profesional dan di-branding tentu diminati orang.

Begitulah, 26 Februari 2006 menjelang akhir masa studi, saya memberanikan diri membuka jasa laundry kiloan dengan modal awal satu mesin cuci dan satu pengering. Modalnya dari sisa bisnis sebelumnya dan ngutang sana-sini, termasuk pinjam pada orangtua. He he he. Waktu itu saya menyewa tempat berukuran 4x6 di jalan Flamboyan, Gejayan tak jauh dari kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan UGM.

Agar berbeda dan calon pelanggan berdatangan, saya memberikan jaminan, cuci baju akan selesai dalam tempo 4 jam saja. Pewanginya pun bisa memilih sendiri dari tujuh jenis pewangi yang saya tawarkan. Yang lebih istimewa, saya sampaikan kepada calon pelanggan bahwa air yang saya gunakan untuk mencuci telah melalui teknologi ultra violet yang berfungsi sebagai sterilisasi agar pakaian yang dicuci bebas bakteri dan aman bagi pemilik kulit sensitif, terutama kulit bayi.

Ya, saya memang menawarkan keunggulan laundry kiloan saya seperti murah, menggunakan deterjen ramah lingkungan, menggunakan sterilisasi ultra violet, pewangi bisa dipilih, dan memisahkan jenis kain. Jangan salah, yang namanya janji “nyucinya dipisah”, maksudnya dipisah menurut jenis kainnya. Misalnya, tidak mungkin celana jins dicampur dengan kain yang halus atau baju berwarna putih, soalnya yang putih bisa-bisa kelunturan. Soalnya di dalam air laundry ada unsur chemical atau kimia untuk memisahkan kotoran. Jadi bukan dipisah milik orang per orang. Tapi berdasarkan jenis kain.

Dengan penawaran berbagai keunggulan itu, bisnis saya segera menjadi pelopor laundry kiloan murah dan tentu saja lebih unggul daripada yang dikelola para ibu rumah tangga lainnya. Terlebih harga yang saya tawarkan per kilo hanya Rp2.800. Pelanggan pun mulai berdatangan.

Hanya setahun, bisnis laundry ini mulai dilihat oleh masyarakat, khususnya mahasiswa. Seiring dengan itu, kuliahnya pun selesai dan saya menyabet IPK 3,30. Seperti orangtua pada umumnya, orangtua saya juga berharap anaknya bisa segera menjadi birokrat atau berprofesi sebagai pengacara seperti ayah saya yang seorang pengacara. “Sekolah tinggi-tinggi kok cuma mau nyuci baju orang,” begitulah kira-kira kata ayah waktu tahu anaknya berniat meneruskan bisnis laundry.

Wajar kalau orangtua setengah kecewa saya memilih berbisnis ketimbang jadi orang kantoran. Sebab dari 6 anak, tak satu pun yang berniat wirausaha. Saya juga tidak memiliki keturunan pengusaha. Setelah lulus, orangtua juga meminta saya ikut seleksi di Bank Indonesia. Meski tidak sepenuhnya berminat, saya turuti harapan orangtua. Beberapa tahap seleksi saya ikuti dan lolos. Tapi lama-lama saya malah takut kalau diterima beneran. Minat saya berbisnis kan besar, mana saya sudah niat membuka cabang.

Sebelum akhirnya “gol” menjadi karyawan BI, saya beranikan diri bicara pada ayah agar diizinkan untuk tidak meneruskan seleksi di BI. Sebaliknya, saya meminta waktu setahun untuk membuktikan bahwa saya mampu membesarkan bisnis laundry. Akhirnya izin saya peroleh. Saya ngotot jadi pengusaha, dan itu ada alasannya, Pegangan saya adalah janji Allah, bahwa sembilan dari sepuluh pintu rezeki itu dari perdagangan. Masak Allah akan ingkari janji?

Buka Waralaba

Outlet Simply Fresh Laundry kedua pun akhirnya dibuka. Banyaknya pelanggan di toko satu dan dua membuat saya jadi sibuk berat. Tak jarang saya tidak tidur karena harus lembur. Bahkan pernah 24 jam penuh saya hanya mencuci agar bisa memenuhi harapan pelanggan. Sekarang saya memakai bendera PT Sushantco Indonesia untuk usaha saya ini.

Tapi, bukan perkara mudah membangun bisnis. Dalam tempo setahun, Simply Fresh laundry masih menjalankan trial and error. Kadang ada juga komplain, seperti pemakaian bahan kimia yang kurang tepat. Begitulah, semua saya jadikan pengalaman hingga terbentuk sistem dan SOP yang kemudian bisa saya terapkan untuk membangun kemitraan. Ilmu kemitraan sendiri kebetulan saya sudah punya teorinya.

Kuliah yang sudah selesai membuat saya bisa fokus pada bisnis. Saya pikir saya harus mencari satu sistem agar bisnis bisa berkembang lebih cepat. Nah, saat itulah saya mulai terpikir konsep kemitraan. Ibaratnya orang yang mau bisnis serupa, saya sediakan sistemnya, tapi uangnya dari mereka dan branding-nya sama. Dengan cara itu, tidak perlu promo ramai-ramai asal pelayanan bagus, kualitas bagus, dalam tempo 2-3 bulan sudah jalan, laku.

Hanya dalam tempo setahun, saya bisa mendirikan 30 jaringan waralaba Simply Fresh Laundry baru di berbagai kota di Indonesia. Yang pertama di Depok, lalu Banda Aceh. Awalnya sih waktu saya perkenalkan bisnis laundry kiloan, mereka merasa aneh. Begitu pula orang Jakarta. Ya begitulah, saya memang harus presentasi. Kini, saya memiliki 280 outlet di 101 kota di seluruh Indonesia.

Meski begitu, bukan perkara mudah membuat jaringan yang cepat meluas ini. Butuh kerja keras dan harus pandai meyakinkan rekan kerja. Berhubung timnya masih sedikit, tak jarang saya harus mendatangi sendiri rekan kerja saya, bahkan sampai ke urusan men-setting tempat pun saya lakoni sendiri. Kasarnya nukang pun saya lakukan.

Masuk MURI

Bisnis laundry yang saya kembangkan ini memang amat potensial dan cepat berkembang terutama di daerah-daerah dimana masyarakatnya berpotensi “malas” mencuci atau sibuk luar biasa. Jadi, ini win-win solution. Menguntungkan bagi pebisnis dan meringankan beban masyarakat lantaran ongkos cucinya murah.

Untuk mendapatkan ilmu bisnis kemitraan, saya juga terus belajar soal coach bisnis maupun ikut ekspo. Tahun 2009 saya pernah terpilih sebagai Wirausahawan Mandiri dari sebuah bank. Penghargaan ini ikut memperkaya wawasan saya soal bisnis dan membuka akses pergaulan. Dari sini pula Agung sering diminta menjadi pembicara, berbagi ilmu bisnis ke berbagai kampus. Tapi, meski banyak permintaan, saya tidak lalu menjadikan motivator bisnis sebagai lahan bisnis baru. Bagi saya itu sekadar lahan berbagi ilmu dan pengalaman saja.

Dua tahun setelah menekuni bisnis laundry, atau tahun 2008, saya benar-benar merasa bisnis laundry saya beda dengan lainnya. Karena itu ia saya mendaftarkan Simply Fresh Laundry ke MURI untuk mendapatkan rekor. Maka, dua penghargaan sekaligus saya peroleh dari MURI, yakni sebagai waralaba laundry kiloan pertama di Indonesia dan laundry kiloan pertama di Indonesia yang menggunakan teknologi ultra violet. Penghargaan MURI juga diberikan lantaran mesin cuci yang saya gunakan di seluruh outlet adalah mesin cuci standar yang tahan lama dan hemat energi.

Rini Sulistyati, Foto: Dok.Pri

Artikel Selanjutnya: Sukses dengan bisnis laundry kiloan, Agung tertantang mengembangkan kemitraan untuk Simply Prime, jasa cuci laundry secara satuan. Tak cuma itu, ia juga mendirikan anak usaha yang menangani bisnis sewa rumah harian.