Memilih Sekolah Yang Tepat Bagi Anak

By nova.id, Sabtu, 27 Juni 2009 | 17:06 WIB
Memilih Sekolah Yang Tepat Bagi Anak (nova.id)

Memilih Sekolah Yang Tepat Bagi Anak (nova.id)

"Romy "

Tak lama lagi, tahun ajaran baru akan datang. Itu berarti, saatnya bagi orangtua untuk kembali berpusing-ria memikirkan dan mencari sekolah bagi anak-anak mereka. Memilih sekolah bagi anak memang gampang-gampang susah. Orangtua harus jeli dan tahu kebutuhan anak. Salah memilih sekolah, bisa berakibat buruk, bahkan berdampak panjang.

Menurut psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan UI, Vera Itabiliana K. Hadiwidjojo, Psi., ada dua faktor terpenting yang harus diperhatikan orangtua dalam memilih sekolah bagi anaknya, yaitu kondisi dan kebutuhan anak.

"Jika anak mudah sakit, misalnya, sebaiknya pilih sekolah yang lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah. Atau, jika anak mempunyai hambatan bicara, sebaiknya jangan pilih sekolah bilingual yang nantinya justru akan membebani anak," katanya.

Selain kedua faktor tadi, aspek-aspek penunjang lain juga turut memengaruhi pemilihan sekolah. Misalnya kemampuan finansial orangtua.

Lantas, sejauh mana, sih, kebutuhan seorang anak masuk Kelompok Bermain (KB)? Menurut Vera, anak sebenarnya belum "wajib" bersekolah hingga usia 3 tahun. "Pasalnya, stimulasi yang dibutuhkan anak di masa usia ini sebenarnya masih dapat dipenuhi di rumah," kata Vera.

Namun, tidak setiap lingkungan rumah dapat memenuhi kebutuhan anak, dan belum tentu tahu kebutuhan anak secara tepat, apalagi jika kedua orangtua bekerja dan anak di rumah hanya bersama babysitter atau pembantu. "Nah, KB memberikan alternatif yang sangat membantu orangtua untuk memenuhi kebutuhan stimulasi anak secara tepat," jelas Vera.

Bagi anak-anak yang memiliki hambatan tertentu, seperti hambatan bicara atau sosialisasi, ada baiknya'bersekolah' lebih awal. Namun, lanjutnya, tetap saja, sekali lagi, orangtua harus selektif betul dengan pilihan KB yang akan dimasuki anak. "Pastikan anak senang dan sekolah tidak membebani anak," ujar Vera.

Patut diingat, KB/ TK adalah lingkungan belajar pertama bagi anak, jadi pandangan anak tentang sekolah mulai dibentuk dari KB atau TK ini. "Apakah sekolah itu menyenangkan bagi seorang anak, bisa ditentukan dari pengalaman pertamanya ini."

Untuk level KB/TK, anak mungkin tidak dapat langsung ditanyai dan mengungkapkan pendapat dengan baik. Lagipula kemampuan kognitif mereka belum memadai untuk mempertimbangkan pilihan semacam ini dengan bijak. Kendati demikian, ujar Vera, anak tetap dapat "dimintai pendapatnya" atau dilihat kesukaaannya pada suatu sekolah dengan cara membawa anak ke semua calon sekolah yang ada, yang sebelumnya telah diseleksi dulu oleh orangtua.

"Hampir semua sekolah sekarang ini sepertinya menawarkan class trial. Orang tua sebaiknya memanfaatkan penawaran ini sebaik-baiknya sebagai suatu cara melihat sekolah mana yang disukai anak. Pilih sekolah dimana anak merasa senang dan menikmati aktivitas belajarnya," saran Vera.

AJAK DISKUSISeiring bertambahnya usia anak, minat atau kesukaan pada sebuah sekolah juga menentukan, khususnya di tingkat SMP dan SMA. Di sini, jelas Vera, anak sudah punya pilihan sekolah sendiri yang juga patut dipertimbangkan. Bagi anak-anak yang hendak melanjutkan ke SMP dan SMU, sebaiknya pilihan sekolah mana saja yang akan dituju, dibahas bersama anak. "Di usia ini anak sudah bisa diajak berdiskusi tentang pilihan sekolah, jauh-jauh hari sebelum ujian masuk."

Bagi yang mau masuk SMP, pembicaraan sekolah mana yang akan dituju sebaiknya sudah dilakukan sejak awal kelas 6 SD. "Jadi, usaha belajar anak lebih fokus pada SMP yang menjadi targetnya. Sementara, orangtua tinggal memantau kapan pendaftaran di sekolah bersangkutan dimulai," lanjut psikolog yang juga praktek di Klinik RMC Depok.

Sekarang ini, imbuhnya, orangtua memang harus mengikuti aturan main sekolah yang bersangkutan. Jadi, akan sangat membingungkan jika pemilihan sekolah tidak direncanakan atau tidak ditargetkan jauh-jauh hari.Anak juga sedini mungkin sudah harus mulai diajak berdiskusi tentang sekolah pilihannya. "Ajak mereka berdiskusi pada saat mereka siap dan bisa diajak berdiskusi tentang pilihan apapun," kata Vera.Untuk pilihan sekolah, biasanya mulai pada saat mau masuk SMP, kemudian ketika mau masuk SMA. Tidak tertutup kemungkinan anak juga sudah punya pilihan ketika mau masuk SD, "Tapi di usia ini memang orang tua yang lebih dominan menentukan."

Di usia SMP dan SMA, anak masih dalam masa remaja dimana mereka juga sedang membentuk jati diri. Nah, keleluasaan menentukan pilihan secara mandiri, termasuk pilihan sekolah, akan sangat menunjang proses ini. "Saya pernah mendapatkan kasus dimana anak mengalami kegagalan terus-menerus di sekolah sampai kuliah, karena merasa SMP-nya yang dulu adalah pilihan yang salah dan menyalahkan orangtua karena memaksanya bersekolah di sekolah itu.

Selain contoh di atas, dampak lain yang mudah terlihat adalah anak menjadi kurang bersemangat ke sekolah. Anak juga akan terus-menerus mengeluh tentang sekolahnya, sering murung sepulang sekolah, dan sebagainya. "Prestasi anak pun bisa terganggu. Pada anak, kuncinya sebenarnya mudah saja, kok. Asalkan mereka merasa senang, potensi diri mereka pun akan teraktualisasi dengan optimal," kata Vera.

SEKOLAH UNGGULANBagaimana dengan sekolah unggulan atau favorit? Kebanyakan orangtua memang menginginkan anak-anak mereka masuk sekolah favorit, dengan beragam alasan. Bahkan, meski harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit sekalipun. Padahal, belum tentu sekolah favorit cocok bagi anak. Lalu, apa, sih, sisi positif dan negatif sekolah unggulan/favorit?

Sekali lagi, kata Vera, semuanya terpulang pada kondisi dan kebutuhan masing-masing anak. Sekolah favorit bisa menjadi negatif jika memang tidak sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan minat anak. Setiap sekolah unggulan biasanya memiliki standar tertentu (bukan hanya sebagai kriteria masuk, tapi juga standar dalam proses belajar seterusnya selama di sekolah itu).

"Nah, standar inilah yang patut menjadi pertimbangan orang tua dan anak, apakah sekolah itu sesuai atau tidak bagi anak," kata Vera yang juga psikolog anak di sekolah Cikal dan Pilar. Standar ini tidak hanya meliputi standar akademis, tapi juga norma sosial dalam sekolah itu seperti apa. Misalnya, apakah pergaulan di sekolah tersebut sangat eksklusif dan hanya dari golongan ekonomi tertentu saja.

Untuk level SD, SMP, dan SMA, hal semacam ini perlu dipertimbangkan, karena di sekolah, anak bukan hanya sekadar belajar di bangku kelas, melainkan juga belajar bersosialisasi.

Yang penting, saran Vera, "Mencari sekolah harus realistis, sesuaikan dengan kemampuan anak, baik akademis maupun sosialisasi. Hindari terlalu memaksakan kehendak pribadi orang tua, sehingga malah membuat anak merasa tersiksa di sekolah."

HASTO PRIANGGORO