Yang Dibutuhkan Si Buyung & Si Upik (1)

By nova.id, Kamis, 9 April 2009 | 08:44 WIB
Yang Dibutuhkan Si Buyung Si Upik 1 (nova.id)

Awalnya banyak yang menyangka, membesarkan anak laki-laki lebih mudah dari anak perempuan.

Benarkah? Selagi hamil, wajar sekali bila ibu membayangkan akan segera membesarkan seorang anak laki-laki atau perempuan. Tak sedikit ibu yang menganggap mengasuh anak laki-laki lebih mudah. Namun, ada juga yang justru begitu yakin relasinya dengan anak perempuannya akan membuat hidupnya lebih menyenangkan. Yang jelas, setiap anak adalah individu unik. Sehingga, jenis kelamin apa pun akan memegang peran kunci karena akan sangat berpengaruh pada bagaimana orangtua menjalin relasi dengan anaknya. Kendati demikian, bisa saja orangtua sama sekali tak menyadari apa pengaruhnya.

#Cermati Perbedaan Meskipun ada begitu banyak anak perempuan yang terbilang kasar dan gesit, maupun anak laki-laki yang tergolong sensitif, pasti beberapa pandangan stereotip seperti pepatah "bagai gula dan bumbu" atau "kura-kura dan anak anjing" masih berlaku.

Berdasarkan hasil penelitian, setidaknya ditemukan lebih dari 100 perbedaan antara otak anak laki-laki dan perempuan. Perbedaan inilah yang memberi kontribusi besar pada perbedaan perilaku yang terlihat jelas antara Si Buyung dan Si Upik. Bila Si Buyung cenderung lebih impulsif secara fisik, itu karena jumlah serotoninnya (zat kimia yang bersifat menenangkan otak) ternyata memang lebih sedikit. Sedangkan Si Upik yang memiliki oksitosin (hormon yang mengarahkan menjalin relasi secara emosional) dalam kadar tinggi terbukti lebih mampu menjalin jejaring pertemanan secara lebih akrab.

Belum lagi bila orangtuanya intens menanamkan adat-istiadat, bagaimana seharusnya anak laki-laki dan perempuan berperilaku. Jadi, jangan heran bila Si Buyung dan Si Upik menunjukkan perbedaan nyata, baik dalam berperilaku, berpikir, ataupun mengekspresikan diri.

Bagaimana cara anak laki-laki bersikap lazimnya, betul-betul berbeda dengan ibunya. Baik tingkat aktivitasnya, minatnya, caranya berkomunikasi, kehidupan emosionalnya, bahkan caranya berjalan. Hasil riset dalam jurnal Child Development memperlihatkan, pencarian Si Buyung selalu tertuju pada aksi nyata yang memungkinkannya bersikap lebih agresif sesuai alam kompetisi dalam dirinya.

Sementara Si Upik umumnya sangat ingin menyenangkan orang lain dan memiliki kemampuan lebih baik untuk mengontrol tindakan yang bersifat impulsif. Anak perempuan pun biasanya lebih bisa menyelesaikan konflik secara verbal.

Akibatnya, orangtua akan membuang energi lebih banyak untuk membuat Si Buyung mengendalikan dirinya. Hal ini pula yang membuat Si Buyung dianggap kurang sensitif. Padahal yang dibutuhkan Si Buyung adalah bantuan untuk mengenali, sekaligus mempertahankan akses menuju semua sisi emosinya.

Sayangnya, begitu bicara soal perasaan Si Buyung, yang muncul dari diri orangtua adalah kejengkelan dan tuntutan kepatuhan agar anak laki-laki mampu mengendalikan emosinya. Sebaliknya, Si Upik pun menghadapi dilema yang berbeda.

Kecenderungannya untuk selalu terikat dengan perasaan-perasaannya - karakter yang diperkuat oleh orangtua maupun lingkungan sosial - bisa mengarahkan Si Upik pada sensitivitas yang lebih besar, dan perilaku manis yang mengundang orang lain untuk mempermainkannya.

Boleh jadi Si Upik akan senantiasa terombang-ambing dalam gejolak emosi, sehingga yang paling dibutuhkannya adalah pertolongan untuk menyeleksi berbagai emosi tadi agar bisa memahami perasaannya. Atau, bukan tak mungkin Si Upik jadi amat responsif kepada orang-orang lain, sehingga ia justru kehilangan pandangan terhadap dirinya.

# Yang Dibutuhkan Si Buyung Anak laki-laki umumnya dibombardir dengan pesan-pesan kultural untuk tampil sebagai sosok yang dominan, selalu menang, dan sama sekali tak boleh menangis. Lalu siapa yang paling mampu menetralkan anggapan-anggapan salah kaprah ini bila bukan ibu? Sebagai ibu, Anda bisa sambil lalu menyampaikan nilai-nilai yang ingin ditanamkan ataupun berbagi pengalaman.

Awalnya, Si Buyung tentu sama terbukanya dengan Si Upik. Selagi anak masih kecil, penanaman nilai bisa disampaikan begitu mudah. Contohnya, ketika Si Buyung tengah bersedih. "Kamu lagi sedih ya? Mungkin Mama akan senang bila kamu bisa bicara kepada Mama, apa yang kamu rasakan. Mungkin Mama bisa bantu."

Dalam satu kalimat, Anda bisa mengenali emosinya, sekaligus mengajarkannya, ia akan terbantu dengan berbagi. Siapkan pula Si Buyung untuk menghadapi berbagai tekanan sosial sepanjang hidupnya, terutama yang terkait dengan tuntutan masyarakat untuk senantiasa menjadi sosok yang tegar. Itu sebabnya penanaman nilai-nilai ini harus terus diperkuat sampai anak dewasa.

Secara teratur buka kesempatan untuk berbicara tanpa dibayangi ketergesa-gesaan. Bisa berupa obrolan sepulang sekolah, selagi berkendara menuju atau pulang dari sekolah, atau saat menghabiskan waktu bersama di tempat tidur.

Rutinitas kecil semacam ini akan memberi kesempatan kepada Si Buyung untuk belajar bersikap terbuka. Atau, menemaninya dalam beraktivitas mengerjakan puzzle dan bermain tangkap bola. Biasanya akan lebih mudah bagi Si Buyung untuk bicara bila hal yang menarik minatnya dijadikan fokus pembicaraan.

Yang patut diingat, sebagai ibu Adan sosok yang paling tepat untuk mengajarkan Si Buyung pemahaman soal jati diri seorang wanita. Mampukan diri Anda untuk bicara kepada Si Buyung tentang siapa sesungguhnya seorang perempuan.

Tak perlu merasa malu saat mendiskusikan hal-hal seputar seks. Bicaralah sepuasnya tentang budaya "ruang tertutup" yang akan segera terekspos pada Si Buyung begitu ia dewasa. Singkatnya, ingatkan Si Buyung, seks melibatkan individu dan bukan hanya anggota tubuh.

Paskaria Foto: Agus Dwianto/Nova