Untung mereka sudah dekat jalan raya. Rosalina dan dua anaknya mendapatkan mobil tumpangan dan diantar ke kantor klasis di Kaban Jahe. Belakangan diketahui, warga di tiga desa telah mengungsi. Selama dua minggu Rosalina tinggal pos pengungsian, aktivitas Gunung Sibanung sempat mereda. Rosalina dan pengungsi lain pun diperbolehkan pulang ke kampung halaman.
Namun baru dua hari kemudian sang gunung kembali bergejolak. "Pihak aparat mengatakan, desa harus dikosongkan. Saya juga ngeri tinggal di rumah. Di sana juga terjadi longsor. Banyak bebatuan dan kerikil berjatuhan."
Sejak itu hingga sekarang, Rosalina tinggal di lokasi pengungsian. Hanya sesekali ketika situasi reda, ia menengok rumahnya. Ia melihat rumahnya sudah dikelilingi lumpur kering debu yang tersiram hujan. Atap rumahnya kotor, di beberapa bagian atap seng itu rusak. Yang paling pedih saat melihat lahan pertaniannya ikut hancur. Mulai dari tanaman padi, kopi, jeruk, kol, dan lainnya. "Saya dan warga lain hampir semuanya petani, kini tak lagi punya penghasilan," tutur Rosalina.
Saat pertama tinggal di pengungsian, Rosalina hanya mengantongi uang Rp50 ribu. Dana sudah tersedot untuk biaya kuliah Franata di Medan dan untuk beli bibit tanaman. "Sampai Desember lalu, biaya hidup untuk Franata masih aman. Nah, mulai bulan ini sudah tak ada biaya lagi. Terpaksa kami harus pinjam uang saudara. Tapi mau sampai kapan saya akan terus-terusan berutang?"
Menurut Rosalina, hanya sesekali ia dan suaminya dimintai bantuan untuk kerja di ladang. "Sebenarnya lumayan bisa dapat penghasilan, sekaligus untuk menghilangkan kejenuhan. Sayang, pekerjaan ini enggak rutin," ujar Rosalina yang anak bungsunya kelas 2 SMP. "Dia masih bisa sekolah, bergabung dengan sekolah terdekat."
Satu hal yang paling membuat Rosalina terharu adalah saat melakukan perayaan Natal di pengungsian. "Ada kebaktian khusus Natal bagi warga pengungsian. Usai kebaktian, kami makan bersama. Semua dana ditanggung gereja," katanya.
Rosalina mengaku, hari-harinya terasa begitu panjang tinggal di pengungsian. Kadang ia merasa jenuh. Namun ia memasrahnya semuanya kepada Tuhan. Tiap hari Minggu ia beribadah di gereja terdekat. Ia tak letih terus memanjatkan doa. "Hanya doa yang jadi penghiburan kami. Kita, manusia dan alam, kan, ciptaan-Nya. Tak ada yang tahu rencana Allah. Mudah-mudahan, Gunung Sinabung normal kembali."
Jalan memang masih begitu panjang. Bila bencana sudah usai, Rosalina beserta seluruh warga lain pasti akan memulai hidup kembali dari nol. "Kalau tak dibantu pemerintah, kami pasti kesulitan. Saya juga belum tahu, apakah tanah milik kami masih bisa diolah nantinya. Mudah-mudahan, sih, masih bisa."
Bosan di Pengungsian
Di sudut lain pos pengungsian, Hasni (39) dan ibu-ibu lain tengah duduk-duduk di lantai sambil makan sirih. "Ya, beginilah kegiatan kami usai bersih-bersih dan mencuci. Tak ada aktivitas. Untuk kegiatan anak-anak lumayan lah, karena sesekali ada relawan yang datang ke mari," ujarnya.
Sering kali rasa bosan datang, apalagi tinggal di pos pengungsi yang tentu serba terbatas. "Makan memang tidak kekurangan. Namun keperluan susu untuk anak masih kurang. Kadang ada, kadang juga tidak. Untuk beli sendiri juga tidak mungkin, karena kami sudah tidak punya penghasilan. Ladang kami hancur semua, enggak ada lagi yang tersisa," papar Hasni.
Yang cukup berat baginya, tentu biaya sekolah buat anaknya. "Anak sulung saya memang sudah tamat SMA, tapi adiknya ada yang sekolah di Brastagi. Dia harus kos. Nah, biaya kos dan kebutuhan untuk sekolahnya, saya harus pinjam saudara," kata Hasni yang rumahnya berjarak 5,8 km dari Sinabung.
Selama ini, Hasni mengaku hidup dari ladang. "Kalau sudah tidak punya uang, saya petik kopi untuk dijual. Kalau uang habis, kami petik kopi lagi. Untuk tanaman lain seperti kol, harus menunggu saat panen. Ada juga pohon jeruk, bisa dipanen secara musiman. Saat ladang kami sudah rusak seperti sekarang, tentu saja sangat berat. Kami, kan, tidak punya keterampilan lain kecuali bertani," ujar Hasni yang juga mengungsi saat Sinabung erupsi tahun 2010 lalu.
Dibandingkan sekarang, "Tahun 2010 jelas kami lebih takut. Sepanjang hidup saya, baru pertama kali Gunung Sinabung meletus. Oleh karena enggak tahu yang namanya gunung meletus, pikiran kami macam-macam. Saya menduga gunungnya terbelah. Sekarang, memang masih suka panik, tapi tak secemas dulu."
Hasni dan warga lain pun tentu berharap, Gunung Sinabung tak batuk-batuk lagi...
Henry Ismono