GKR Hayu dan KPH Notonegoro Jalani Prosesi Adat Siraman

By nova.id, Senin, 21 Oktober 2013 | 03:57 WIB
GKR Hayu dan KPH Notonegoro Jalani Prosesi Adat Siraman (nova.id)

GKR Hayu dan KPH Notonegoro Jalani Prosesi Adat Siraman (nova.id)

"Upacara siraman (Foto: Eng Naftali) "

Prosesi Royal Wedding Keraton Yogyakarta pernikahan putri keempat Sultan Hamengkubuwono X, GKR Hayu dengan KPH Notonegoro  dimulai sejak tanggal 21 Oktober 2013 hingga 23 Oktober 2013. Prosesi adat yang dilaksanakan pada Senin (21/10) pagi dimulai sejak pukul 09.00 WIB dengan agenda acara Prosesi Nyantri.

Prosesi ini bertujuan untuk mengenalkan calon menantu kepada Keraton Yogyakarta. Di sini, calon menantu akan diajari bagaimana hidup sebagai anggota keluarga Keraton Yogyakarta. Kalau sebelumnya prosesi Nyantri dilaksanakan selama 40 hari, namun sejak era Sulta Hamengku Buwono IX proses ini pun dipersingkat. Di sini calon mempelai pria akan diajarkan adat-istiadat yang ada di Kraton, seperti cara berbahasa Jawa dengan Sultan, cara menyembah, dan ngapu rancang (gesture tubuh ala Jawa). Calon mempelai pria juga akan diajarkan laku ndodok, yakni cara berjalan dengan berjongkok yang menjadi simbol perilaku yang sopan.

Prosesi Nyantri akan diawali di Mangkubumen. Mangkubumen adalah sebuah bangunan Kraton yang saat ini digunakan Universitas Widya Mataram sebagai bangunan kampus dan terletak di sebelah barat Kraton Yogyakarta. Dari sini, calon mempelai pria dan keluarganya akan dijemput oleh Utusan Dalem dari Kraton untuk menempati Bangsal Kasatriyan. Utusan Dalem akan menjemput calon mempelai pria menggunakan beberapa kereta kuda dan diiringi oleh pasukan berkuda.

Rute yang digunakan adalah dari Mangkubumen menuju ke Magangan dilanjutkan dengan berjalan kaki ke Bangsal Kasatriyan. Di Bangsal Kasatriyan, calon mempelai pria sudah ditunggu oleh para pangeran. Sejak proses Nyantri hingga ijab kabul, calon mempelai pria akan tinggal di Bangsal Ksatriyan. Sementara calon mempelai wanita berada di Sekar Kedhaton.

Setelah prosesi Nyantri selesai dilakukan oleh calon mempelai pria, prosesi adat dilanjutkan dengan Siraman. Siraman mengandung arti memandikan calon mempelai yang disertai dengan niat membersihkan diri agar menjadi bersih dan murni atau suci lahir dan batin. Upacara Siraman akan dilakukan di Bangsal Sekar Kedhaton untuk calon mempelai wanita, dan di Bangsal Kasatriyan untuk calon mempelai pria. 

Air yang digunakan untuk Siraman berasal dari tujuh mata air yang ada di lingkungan Kraton. Air tersebut akan ditaburi kembang setaman, yakni roncean bunga-bunga. Air ini kemudian akan diguyurkan ke tubuh calon mempelai wanita. Guyuran pertama dilakukan oleh ibunda calon mempelai wanita lalu disusul oleh sesepuh keluarga Keraton. 

Setelah disirami, calon mempelai wanita kemudian akan berwudhu menggunakan air yang ada di dalam sebuah kendi. Kendi tersebut kemudian akan dipecahkan di depan calon mempelai wanita. Pecahnya kendi ini memiliki simbol pecah pamor yakni keluarnya pesona dari calon mempelai. Diharapkan, setelah ini, calon mempelai tersebut akan semakin cantik dan manglingi (membuat setiap orang tidak mengenal saking cantiknya).

Sementara itu, air dari tujuh mata air yang juga digunakan untuk calon mempelai putri diantarkan oleh salah satu putri Sultan yang sudah menikah ke kamar mandi di Bangsal Kasatriyan (Gedhong Pompa). Air ini akan digunakan untuk upacara Siraman calon mempelai pria.

Di Bangsal Kasatriyan, Siraman akan dilakukan oleh ibunda calon mempelai wanita, ibunda calon mempelai pria, dan sesepuh-sesepuh lainnya. Urut-urutannya pun sama seperti yang dilakukan kepada calon mempelai wanita.

Upacara Siraman ini semuanya dilakukan oleh wanita. Alasannya adalah karena para wanita merupakan ibu yang merawat anak-anak. Jumlah orang yang menyirami harus berjumlah ganjil. Jumlah ganjil ini diambil dari kepercayaan Hindu yang melambangkan Trimurti (Brahma, Wisnu, Syiwa) yang juga dipercaya dapat menolak bala.

Antie