Ketika Meriana Bangga Melihat Murid Bitobe

By nova.id, Sabtu, 5 Oktober 2013 | 01:30 WIB
Ketika Meriana Bangga Melihat Murid Bitobe (nova.id)

Kehidupan warga di kecamatan Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, memang jauh lebih sederhana dari warga masyarakat di perkotaan. Wilayah Amfoang yang terletak di salah satu bukit terjal nan tinggi di Kupang, memiliki mayoritas penduduk dengan taraf perekonomian di bawah rata-rata.

 Kebanyakan kepala keluarga di Amfoang adalah petani musiman yang hanya bercocok tanam pada musim penghujan selama 110 hari saja. Setelah musim hujan berlalu, desa Amfoang menjadi tandus bahkan tanahnya retak-retak dan kerap longsor.

 Kendati demikian, anak-anak warga Amfoang masih bersekolah setiap hari. Salah satu sekolah yang dikunjungi tabloidnova.com adalah SD Negeri Kelle, desa Bitobe, Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang. Saat menemui salah satu guru, Meriana Melafu (27), diakuinya jika banyak kendala dimiliki dunia pendidikan di Amfoang namun anak-anak Amfoang sangat bersemangat ke sekolah. "Kita saja memiliki 114 murid berasal dari satu desa Bitobe yang rumah mereka jauh," ungkap Meri prihatin.

 Rumah-rumah di Amfoang sendiri berjarak cukup jauh satu sama lain, bisa sekitar 50 meter sampai 100 meter setiap kepala keluarga. Inilah mengapa Sekolah Dasar di Amfoang memiliki murid-murid yang datang berkilo-kilo meter dari sekolah.

 "Mereka bisa datang 3 kilometer dari sekolah, dengan berjalan kaki. Kadang tak pakai sepatu. Tapi mereka sudah datang sebelum sekolah dimulai sekitar pukul 07.15 WITA," ujar Meri lagi.

 Ruang kelas yang dimiliki SD Kelle sendiri berjumlah 6 buah. Tadinya, sekolah ini hanya memiliki 2 kelas yang disekat masing-masing menjadi 3. Berdinding bambu dan beratap alang-alang seperti rumah-rumah khas NTT. Kini mereka sudah menambah 4 ruang kelas permanen (berdinding tembok dan atap seng) berkat bantuan swasta. Dari jumlah kelas ini, sekitar 7 pengajar (termasuk kepala sekolah) mendidik anak-anak Bitobe. Tiga diantara pengajar tersebut masih berstatus honorer.

 "Tapi kadang mereka (Guru honorer) tidak masuk karena honor kurang. Dan, mereka harus datang dari tempat jauh. Jadi kalau tidak ambil honor mereka tidak bisa datang," keluh Meri.

 Rata-rata Guru honorer juga mendapat dana dari dana komite sekolah dan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). "Tapi sekarang dana komite itu kurang. Jadi kita lebih berharap dari BOS. Kita jadi tidak cukup pengajar dan tidak maju," ungkap Meri.

 Padahal anak-anak ini tidak ada uang untuk bersekolah karena orangtuanya hanya bercocok tanam untuk kebutuhan makan setahun. "Jadi kita kalau tidak ada BOS tidak beli buku pelajaran. Tidak ada iuran sekolah juga kalau tidak begitu, mereka tidak sekolah karena tidak ada uang," ungkap Meri.

 Yang menarik, siswa siswi tidak wajib menggunakan seragam tertentu untuk bersekolah. Jika mereka punya seragam merah putih, mereka akan  menggunakan pakaian tersebut. Dan jika mereka memiliki seragam olah raga (biasanya merupakan bantuan dari lembaga swasta, Red.), mereka akan menggunakan seragam olah raga.

 Begitupula dengan buku tulis, mereka hanya memiliki buku tulis jika mendapat bantuan. Membeli alat tulis bagi warga Bitobe sangatlah mahal karena mereka harus menempuh perjalanan 100 an kilometer ke kota dengan menumpang kendaraan seadanya dengan biaya sekitar Rp 35 ribu hingga Rp 50 ribu (musim hujan) untuk mendapatkannya. "Terakhir kita mendapat bantuan PNPM sekitar Juni 2013 satu pak buku tulis persiswa," ungkap Meri .

 Meri sendiri mengakui jika medan SD Kelle itu berat. Dirinya setiap hari harus menempuh perjalanan sekitar 8 km dari pagar desa Bitobe dengan sepeda motor melewati lahan terjal dan berbatu, juga  naik dan turun bukit karena sekolah berada di lembah bukit.