Abi Berpulang Setelah 7 Bulan Koma "Dia Ksatria & Motivator Tanpa Kata"

By nova.id, Rabu, 6 Maret 2013 | 04:18 WIB
Abi Berpulang Setelah 7 Bulan Koma Dia Ksatria Motivator Tanpa Kata (nova.id)

Abi Berpulang Setelah 7 Bulan Koma Dia Ksatria Motivator Tanpa Kata (nova.id)
Abi Berpulang Setelah 7 Bulan Koma Dia Ksatria Motivator Tanpa Kata (nova.id)

"Aku dan suami melihat foto-foto Abi di dalam laptop. Sungguh kehadirannya bagaikan malaikat bagi keluarga kami. (Foto: Henry Ismono / NOVA) "

Petik Banyak Hikmah

 Keadaan Abi sudah semakin kritis. Aku dan suami sudah pasrah. Kami rela seandainya ia akan pergi. Sambil dokter terus mencoba memberi pertolongan, kami terus berdoa. Sambil berurai airmata, aku berbisik kepadanya, "Abi, Mama dan Papa di sini. Abi sama Allah ya, Nak. Tunggu Mama di sana. Nanti Papa dan Mama pasti juga menyusul. Tenang, ya, Nak. Yuk, kita zikir." Aku yakin, Abi pasti mendengar ucapanku.

Suasana ruang ICU begitu hening. Sampai akhirnya dokter minta izin untuk rekam jantung Abi. Aku paham, Abi sudah pergi. Dokter hanya ingin memastikan bahwa Abi sudah tidak ada. Memang benar. Jam 01.20, Abi dinyatakan meninggal. "Selamat jalan, Nak. Tunggu Mama di sana. Siapkan Mama rumah yang bagus, ya," ujarku.

Ah, rupanya Abi tak mau merepotkan kami. Ia tak ingin kami khawatir karena kondisinya terus merosot. Makanya, ia pergi saat kondisinya sudah jauh lebih bagus ketimbang hari-hari sebelumnya.

Kulihat wajahnya, ia tampak begitu tenang. Anehnya, aku melihat parasnya seperti kanak-kanak. Polos. Padahal, ia kan sebenarnya sudah menjelang remaja. Namun ketika sampai di kampung halaman menjelang dimakamkan, aku melihatnya tampak sudah remaja. Ada kumis tipis, tubuhnya juga lebih kekar. Allah menunjukkan kepadaku keadaan Abi saat remaja.

Jasad Abi sempat kami bawa ke rumah kontrakan, tak jauh dari RS UKI. Ia juga disembahyangkan di mushala dekat rumah. Hari itu juga, kami terbang ke kampung halaman. Pertimbangannya, kami tidak punya saudara di Jakarta. Lebih baik dimakamkan di kampung halaman. Kebetulan, makamnya tak begitu jauh dari rumah kakeknya.

Abi memang sudah tiada. Namun, kesempatan menemani Abi selama ini memberikan kepada kami pengalaman luar biasa. Begitu banyak keajaiban. Salah satunya tentang biaya perawatan. Total kami keluar biaya Rp 1,2 M, itu pun masih dibantu dana pemerintah ratusan juta. (Sudiro menambahkan, gajinya dikumpulkan seumur hidup pun, mungkin tak akan mencapai jumlah itu. Meski begitu, Allah selalu memberi kami jalan.)

Namun, yang jauh lebih penting adalah pelajaran tentang hidup. Kami memetik banyak hikmah. Kehilangan sudah pasti, sedih iya. Tapi bukan sedih karena ia menderita. Aku yakin ia tidak pernah menderita. Itu sebabnya, tak ada perasaan nelangsa di hatiku. Sebaliknya, aku justru bangga punya anak seperti Abi.

Dari Abi, aku juga belajar tentang ketabahan dan kepasrahan. Namanya saja menunggu di ruang ICU, aku kerap melihat pasien meninggal. Bahkan, dalam sehari bisa 2-3 kali. Kalau dihitung-hitung, sudah ratusan yang meninggal. Meski begitu, aku tak pernah berpikir, "Abi akan menyusul." Hanya saja, tiap ada pasien yang mendekati sekaratul maut, Abi akan terlihat berbeda. Misalnya, tiba-tiba ia demam atau denyut nadinya kencang. Ternyata, pasien di sebelahnya meninggal. Aku sampai hafal soal itu. Ketika pagi hari Abi gelisah, siang atau sorenya pasti ada yang meninggal.

Jika sudah begitu, aku dan suami berusaha menenangkan. Aku zikir membacakan Al Quran atau setidaknya mengajaknya mengobrol. Selanjutnya, Abi akan tenang kembali. Ya, setiap mengenang Abi, selalu terasa hangat dan semangat. Semangat mengejar kuota. Jangan sampai kesempatan saya hilang. Saya ingin memenuhi kuota Tuhan, dengan banyak beramal, ibadah ditingkatkan, berbuat baik kepada setiap orang,

Ya, aku sudah siap melanjutkan hidup tanpa Abi. Lewat anak ksatriaku, Allah sudah membukakan mata hati kami. Kejadian apa pun selalu ada berkahnya. (Hari itu, Tri dan Sudiro mempersiapkan 7 hari meninggalnya Abi. Mereka juga ziarah ke makam pahlawannya. Sebelum meninggalkan makam, ibunda tercinta mengungkapkan pesan, "Abi, tenang di sini ya, Nak. Tunggu Mama dan Papa.")

 Henry Ismono