Annisa Pergi Dalam Pelukan (2)

By nova.id, Kamis, 21 Februari 2013 | 06:22 WIB
Annisa Pergi Dalam Pelukan 2 (nova.id)

Setiap hari, sebelum narik angkot, Jamal mengantarnya kuliah. "Malam dia jemput lagi. Kalau dia mau, mobil orangtua saya bisa saja dibawa lari. Kan, kunci dan STNK selalu diserahkan ke dia tiap mengantar saya," tutur Devi yang sehari-hari mengenal Jamal sebagai tetangga yang baik, mudah akrab, dan pekerja keras. "Setelah menjemput saya, dia masih jaga rental Play Station (PS) miliknya dan temannya, meskipun jumlah PS-nya hanya tiga unit."

Masih kata Devi, Jamal amat pemurah dan siap membantu jika diperlukan. "Pokoknya, 100 persen saya yakin dia orang baik!" tandas Devi. Lalu kenapa Annisa nekat melompat? Dari kacamata psikolog Tara Adhisti de Thouars, faktor pemicu kenekatan Annisa dilatarbelakangi rasa cemas, takut, dan panik.

Tiga hal ini, kata Tara, muncul berdasarkan pola pikir seseorang. "Misalnya, seseorang berpikir negatif mengenai suatu hal, maka emosi yang muncul juga negatif."

Apalagi, lanjutnya, maraknya berita tentang kriminalitas dalam angkot berperan sangat besar dalam membentuk pola berpikir seseorang. "Akhirnya timbul persepsi tertentu tentang angkot yang bisa jadi kepercayaan. Seperti "angkot berbahaya" atau "harus waspada terhadap angkot". Perilaku penumpang pun jadi lebih hati-hati dan waspada saat naik angkot."

Ada pun tahapan seseorang yang cemas dan panik hingga nekat melakukan hal tertentu didasarkan persepsi akan sinyal bahaya. "Sinyal ini dipelajari seseorang berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan instinknya." Dalam hal ini, informasi kejahatan di angkot dipelajari Annisa sebagai salah satu sinyal bahaya yang harus diwaspadai.

Alhasil, ketika ia mengalami keanehan, keganjilan, dan kecurigaan (angkot tak mau berhenti atau sopir mau mengantar tapi tak mau menurunkan), sinyal bahaya seketika jadi aktif dan menimbulkan emosi tertentu yang sangat tak nyaman. "Sebagai reaksi wajar manusia, emosi takut tadi diperkuat pola pikir negatif, seperti "Bagaimana jika diculik?" atau "Bagaimana jika sopir berniat jahat?" yang meningkatkan intensitas rasa panik."

Dalam kondisi demikian, insting melindungi diri otomastis akan muncul, "Ini manusiawi dan sangat normal. Seperti bila akan dipukul, reaksi yang keluar adalah menangkis."

Dalam kasus Annisa, kata Tara, situasi di angkot membuatnya hanya punya sedikit pilihan untuk melindungi diri. "Melompat atau menghindari situasi ancaman adalah cara paling cepat dan memungkinkan untuk dilakukan demi mengatasi rasa takut dan paniknya," urai Tara.

Untuk menghindari rasa cemas dan panik berlebihan tadi, kata Tara, bisa dimulai dengan mencoba berpikir positif dalam situasi apapun, "Emosi negatif hanya bisa dikendalikan dengan pola pikir yang lebih positif. Pastikan, pikiran negatif memang sesuai kenyataan dan bukti yang ada, sehingga emosi negatif bukan muncul tanpa alasan yang tak jelas."

Mengenai sopir angkot yang menyangkal dirinya tak ada niat jahat, menurut Tara, seharusnya bila ia berniat baik, tunjukkan dengan cara yang lebih bisa membuat nyaman. "Tentu tak ada gunanya menolong orang dengan cara membuat kepanikan yang lebih besar, dengan melakukan hal-hal yang bertolak belakang dari permintaan penumpang."

 Hasuna, Ade Ryani