Curahan Hati Sang Bunda: Harapan Ri Rayakan Ulang Tahun (2)

By nova.id, Rabu, 30 Januari 2013 | 02:25 WIB
Curahan Hati Sang Bunda Harapan Ri Rayakan Ulang Tahun 2 (nova.id)

Curahan Hati Sang Bunda Harapan Ri Rayakan Ulang Tahun 2 (nova.id)
Curahan Hati Sang Bunda Harapan Ri Rayakan Ulang Tahun 2 (nova.id)

"Foto: Noverita / NOVA "

"Efeknya, Menghancurkan Segalanya" 

Kepala Polres Jaktim Komisaris Besar Mulyadi Kaharni mengatakan, terungkapnya S sebagai pelaku melalui serangkaian penyelidikan ilmiah, keterangan saksi, alibi, serta barang bukti. Tim memulai penyelidikan terhadap lima saksi, S, kakak korban, tetangga korban, dan dua orang lainnya. "Mereka diperiksa secara medis, psikologi, juga dari keterangan saksi," tutur Mulyadi, Jumat lalu.

Kakak korban dan tetangganya, dari hasil pemeriksaan medis, tak menunjukkan memiliki kesamaan penyakit dengan korban. "Hasil DNA kedua saksi menunjukkan hasil negatif. Pemeriksaan pun difokuskan kepada S, ternyata ada kesamaan bakteri penyakit pada S dan Ri. "Bakteri itu diketahui ditularkan lewat hubungan seksual. Dari hasil pemeriksaan medis itu unsurnya dipenuhi oleh tersangka," jelas Mulyadi lagi.

Sementara itu, Irwanto, Direktur Lembaga Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia, mengatakan, "Yang perlu diubah dari sistem hukum di Indonesia, yakni tidak mengenal hukum yang menumpuk. Jadi seseorang tidak bisa diberikan 3-4 hukuman atas kesalahan yang dilakukan."

Seperti kasus S, bisa dikenai 4 pasal, yakni pencabulan, kekerasan, tidak memerhatikan kondisi sang anak karena sakit, dan pembunuhan. "Bila semua pasal itu dikenai, S bisa dikenai hukuman 40-50 tahun penjara. Jadi tidak perlu hukuman mati."

Kendati pelaku perkosaan dapat disebut "monster", kata Irwanto, namun monster tidak menciptakan dirinya sendiri. "Kondisi kehidupan, kemiskinan, rumah yang kecil, itulah yang memaksa dia menjadi monster. Semua itu harus disikapi secara baik. Jika tidak, monster lain akan muncul terus. Hukuman mati ibarat permainan "cilukba", ketika menutup mata orang yang dicari sudah tidak ada. Tapi saat dibuka matanya, orangnya ternyata masih ada."

Selanjutnya, Irwan sangat setuju jika pelaku dihukum seberat-beratnya. "Tapi tidak seluruh waktunya dihabiskan di penjara, pelaku juga harus melakukan rehabilitasi."

Pasalnya, "Dia, kan, orangtua dari anak-anaknya yang masih tumbuh dan berkembang. Siapa tahu suatu saat, anak-anaknya bisa memaafkan perbuatan orangtuanya dan hidup menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tidak akan selamanya dia menjadi monster yang jahat."

Akan tetapi, lanjutnya, disisi lain efek yang diterima korban perkosaan tentu saja sangat serius. "Tentu akan menghancurkan segala-galanya, tak hanya menimpa si anak tapi juga pelakunya, apalagi orangtuanya sendiri. Makanya dibutuhkan terapi yang lama dan pendampingan. Jangan sampai setelah pelaku menjalani hukuman, lalu didiamkan atau dijauhi keluarganya. "

Untuk mengantisipasinya, perlu dibentuk sistem perlindungan anak sampai ke tingkat RT dan RW. "Contohnya di Malaysia, melibatkan tokoh masyarakat dan para dokter yang didukung pemerintah. Sebaiknya memang pemerintah harus segera melakukan berbagai perbaikan, mulai dari pendidikan, tempat rehabilitasi, juga penjara," tuntas Irwan.

 Noverita K Waldan