Lumpuh dan Buta Usai Operasi Usus Buntu (1)

By nova.id, Jumat, 18 Januari 2013 | 06:01 WIB
Lumpuh dan Buta Usai Operasi Usus Buntu 1 (nova.id)

Lumpuh dan Buta Usai Operasi Usus Buntu 1 (nova.id)
Lumpuh dan Buta Usai Operasi Usus Buntu 1 (nova.id)

""Tidak ada yang mustahil yang bagi Allah,'' tutur Oti berharap kondisi Raihan makin membaik. (Foto: Henry/NOVA) "

Henti Jantung

Di tengah kecemasan, usai azan magrib akhirnya dokter keluar ruangan. Katanya, operasi sudah selesai. Dokter menunjukkan usus Raihan yang baru saja dioperasi. Ketika kutanyakan keadaan Raihan, jawaban dokter malah membuatku bertanya-tanya. Soalnya, aku diminta berdoa, Raihan sedang coba dibangunkan.

Jelas aku kaget. Berarti ada yang serius dengan Raihan. Tanpa pikir panjang aku segera masuk ruang operasi, sambil dalam hati terus bertanya-tanya, "Ada apa dengan Raihan?"

Masih terbayang di benakku ketika melihat Raihan masuk ruang operasi. Dia masih tampak segar. Penyakitnya juga tak begitu serius. Toh, banyak sekali cerita sukses operasi usus buntu. Namun yang kulihat sekarang jauh sekali dari yang kubayangkan.

Begitu melihat Raihan di dalam ruang operasi, aku jadi sedih berbaur cemas. Betapa tidak? Kulihat Raihan seperti sedang meregang nyawa. "Kenapa anak saya, Dok?" tanyaku diliputi perasaan waswas.

Jawaban dokter lagi-lagi membuatku sangat kaget. Katanya, pada saat operasi, Raihan sempat henti jantung karena dia tak kuat. Mendengar itu, aku langsung protes. "Kalau anak saya sudah tampak tak kuat, kenapa operasi diteruskan?" Dokter mencoba menenangkan dan mengatakan, semua sudah diatasi. Raihan dibantu lewat napas pompa.

Apa pun penjelasan dokter, aku tak kuat melihat keadaan Raihan. "Dokter harus menyadarkan dia karena sudah memaksa tanda tangan untuk operasi!" protesku ke dokter. Saking tak kuatnya, aku pingsan. Ya, siapa yang kuat melihat penderitaan Raihan. Aku pun sulit menggambarkan betapa Raihan begitu menderita.

Pada saat tak sadarkan diri, kerabat yang ikut menunggui segera mengabarkan keadaan ini kepada suamiku. Belakangan aku tahu dari suamiku, pihak administrasi RS minta deposit sebesar Rp 12 juta sebelum Raihan dimasukkan ke ruang ICU. Lho, bukankah pihak RS yang membuat Raihan menderita? Mestinya, kan, Raihan yang kondisinya sudah parah itu langsung saja mendapat perawatan di ICU. Sekitar tiga jam kemudian, barulah Raihan dirawat di ICU.

Berharap Mukjizat

Hari demi hari berlalu, Raihan tak kunjung sadar. Perkembangannya hanya sedikit. Ia sudah bisa bernapas, tanpa memakai alat bantu. Setelah tiga minggu di ICU, akhirnya Raihan dibawa ke ruang perawatan biasa.

Aku masih bertanya-tanya, kenapa akibat operasi usus buntu keadaan Raihan bisa sefatal itu. Penjelasan dokter pun tak memuaskanku. Awalnya, dokter bilang, Raihan alergi obat. Obat apa? Dia tak bisa menerangkan dengan jelas. Katanya lagi, ada obat yang tak bisa dideteksi.

Setelah lebih 40 hari dirawat di MPH, Raihan dirujuk ke sebuah RS lain di Jakarta, tanggal 3 November. Dokter di RS ini lalu menjelaskan kondisi Raihan dengan lebih jelas. Katanya, kondisi Raihan terjadi akibat sarafnya sudah rusak. Semua ini akibat saat operasi Raihan sempat mengalami henti jantung.

Yang membuat syok, saraf Raihan akan sangat sulit dipulihkan. Bila saraf sudah rusak, tak bisa dibetulkan lagi kecuali menunggu mukjizat Allah. Ya Tuhan, apakah Raihan mesti selamanya seperti ini?

Henry Ismono / bersambung