Sifat keras kepala Puti tampaknya menurun dari aku. Semula, tak ada satu pun temannya yang tahu Puti sakit. Mungkin karena faktor psikis, ia tak mau teman-temannya tahu lalu menjenguknya dan melihat kondisinya sudah berubah. Ia tak mau dikasihani. Puti tak mau dijenguk siapa pun.
Aku mencoba memberinya pengertian, teman atau orang lain datang ke sini selain menjenguk juga mendoakan. "Siapa tahu doa-doa mereka diterima Allah dan menyembuhkan Puti." Karena tetap tak mau, aku harus menjaga perasaan putriku. Ketika ada temannya yang ingin menjenguk, terpaksa aku tolak dengan halus.
Namun ketika Puti sempat dirawat di RS Siloam, berita sakitnya mulai tersebar. Di saat teman-temannya menjenguk di RS, aku tak bisa lagi melarang. Aku pun berpikir positif, jika teman-temannya datang tentu akan membuat Puti lebih semangat dan tak merasa sendirian.
Dugaanku tepat, ketika teman-temannya datang aku melihat ada kobaran semangat di mata Puti. Semua temannya baik. Bahkan London School, tempat Puti melanjutkan studi, sempat mengadakan malam penggalangan dana dan berhasil membantu meringankan biaya pengobatan Puti, tanpa aku minta.
Tak hanya itu, anak-anak angkat Puti di Yayasan Sayap Ibu pun hadir menyemangati putriku. Bahkan sebelum ajal menjemputnya, Puti sempat memintaku untuk mengantarnya ke sebuah masjid di kawasan Kelapa Gading untuk bertemu anak-anak yatim piatu. Meski harus terbaring menahan sakit, dengan penuh semangat Puti menyapa anak-anak itu.