Setahun belakangan ini sikap kasarnya makin menjadi. Apa pun yang saya perbuat selalu salah di matanya. Suatu hari, ia "mengajak perang mulut". Pintu kamar yang sudah saya tutup justru dibukanya. Ia lalu memangil Ibu agar menasihati saya. Saya pikir, itu sudah keterlaluan. Saya tak suka Ibu dilibatkan dalam persoalan rumah tangga kami. Kami pun bertengkar hebat.
Oleh karena tak kuat lagi menyimpan derita, persoalan rumah tangga ini saya konsultasikan ke guru mengaji kami. Sang guru lalu menyimpulkan, "Suami Ibu punya simpanan perempuan lain."
Duh, pedih rasanya. Kepada sang guru saya menyangkalnya, meski saya tahu memang ada perempuan lain di kehidupan suami. Asal tahu saja, sepanjang usia pernikahan kami, ia memang memiliki catatan negatif untuk urusan perempuan. Itulah titik lemahnya dia.
Saya pernah memergokinya sedang mengobrol mesra dengan seseorang di telepon, tengah malam. Seperti yang terjadi November lalu, sekitar jam 03.00 dini hari saat hendak salat tahajud, saya mendapati suami bertelepon. Suaranya berbisik nyaris tak terdengar. "Kalau teriak-teriak, nanti membangunkan orang tidur," jawabnya ketus saat saya tegur. Tak lama, percakapan pun berhenti. Namun di saat saya kembali masuk kamar, suami meneruskan perbincangannya di telepon.
Sebagai perempuan, saya punya firasat, dia pasti punya hubungan gelap. Ketika akhirnya ia tertidur pulas, perlahan saya buka ponselnya dan melihat pesan-pesan singkat di dalamnya. Dari situlah perselingkuhannya terkuak. Teks pesan yang masuk begitu mesra. Bagai tersambar halilintar saya membacanya.
Esoknya, saya tanyakan soal itu kepadanya. Jawabannya sungguh di luar dugaan. Suami mengungkapkan sebuah pengakuan. Deg. Wajah saya serasa ditampar keras saat ia menyebut nama perempuan lain, ditambah pengakuannya bahwa ia sudah menikahinya secara siri. Belakangan saya tahu, perempuan itu bekas penjaja makanan di kantin sebuah SMA di Magelang. Pagi itu, kami bertengkar hebat. Saya dicaci maki dan dipukulnya. Kejadian itu berlangsung Jumat (9/10). Sejak itu, ponselnya selalu ia simpan dalam lemari yang terkunci rapat.
Dihajar Habis
Rabu (14/11) pagi ketika hendak mengantar anak ke sekolah, secara kebetulan saya lihat ponsel suami tergeletak di sisi tempat tidur. Penasaran, kembali saya baca pesan singkat dari perempuan itu. Belum selesai membaca, si sulung Bela sudah minta segera diantar ke sekolah. Akhirnya, ponsel suami saya bawa. Setelah membaca semua isi pesan itu, saya benar-benar tak kuat lagi. Saya lalu bertemu sahabat dan menceritakan semuanya. Bahkan ponsel suami saya titipkan padanya. Lalu saya telepon suami untuk minta izin pulang ke rumah pribadi kami di Trunan.
Selang dua hari, suami datang ke Trunan bersama Bela, ia menanyakan ponselnya. Saya berjanji akan mengembalikannya esok hari. Namun suami terus mendesak dan marah. Kepala saya dipukulnya. Tak puas, tangan dan punggung saya dihajar sandal kulit yang dipakainya. Ia lakukan itu di depan mata anak kami. Saya tak bisa melawan karena terus dihajar hingga posisi saya terduduk di lantai. Saya hanya bisa berteriak minta tolong dan menyuruh Bela segera lari mencari pertolongan. Saya berusaha berdiri namun ia menyeret saya ke dalam kamar. Di situ saya kembali dihajar habis-habisan.
Tak terkira sakitnya yang saya rasakan akibat penganiayaan itu. Hati saya apalagi, benar-benar terluka parah! Setelah sekian lama membantunya membangun karier politiknya dari nol, ternyata begini hasilnya. Puas mengaiaya saya, ia pun pergi. Malamnya, saya ke dokter karena ada bagian tubuh saya yang mulai bengkak dan memar. Saya lalu minta surat visum dan melapor ke polisi. Malam itu saya tak mau pulang ke rumah dinas.
Selama seminggu di Trunan, suami beberapa kali datang, memaksa saya pulang ke rumah dinas dengan cara-cara kasar dan memalukan. Bahkan suara kerasnya terdengar tetangga. Saya dimintanya untuk bisa menerima perempuan itu. Jelas, saya tak sudi.
Suatu malam, suami datang lagi ke Trunan di saat anak-anak yang sedang bersama saya sudah tertidur lelap. Dia menggedor-gedor pintu rumah sambil teriak-teriak. Malu rasanya sebab tetangga berkerumun melihat apa yang terjadi. Begitu pintu saya buka, secara paksa ia membawa anak-anak ke rumah dinas. Anak-anak menangis. Sejak itu saya tak boleh bertemu anak-anak.
Rini Sulistyati / bersambung