Mimpi Malala untuk Sekeping Tanah Surga (1)

By nova.id, Jumat, 23 November 2012 | 01:45 WIB
Mimpi Malala untuk Sekeping Tanah Surga 1 (nova.id)

Mimpi Malala untuk Sekeping Tanah Surga 1 (nova.id)
Mimpi Malala untuk Sekeping Tanah Surga 1 (nova.id)

"Peristiwa penembakan Malala mengejutkan seluruh dunia. Sehari setelah peristiwa penembakan, berbagai negara menawarkan bantuan untuk memberikan perawatan dan pengobatan kepada gadis cilik ini hingga pulih. (Foto: AFP) "

Bersuara di Dunia Maya

Nama Malala Yousafzai mulai dikenal dunia setelah ia menulis jurnal harian di blog milik BBC Urdu. Saat itu Malala masih berusia 11 tahun, namun tulisan putri Ziauddin, seorang pemilik sekolah khusus perempuan di Swat Valley ini sangat lugas dan tegas, terutama jika menyangkut pendidikan. Sebagai anak perempuan, ia merasa Taliban merampas haknya untuk mendapatkan pendidikan. Taliban yang menduduki Swat Valley sejak tahun 2008 memang melarang penggunaan televisi, musik, dan pendidikan bagi anak perempuan. Ultimatum lalu dijatuhkan oleh pihak Taliban, seluruh sekolah khusus perempuan harus ditutup pada tanggal 15 Januari 2009.

Dalam blog yang di-posting mulai tanggal 3 hingga 15 Januari 2009 ini, tergambar jelas kegundahan hati Malala menghadapi hitung mundur penutupan sekolahnya. Di sekolahnya sendiri, semakin sedikit siswi yang datang untuk belajar. Kebanyakan tak muncul ke sekolah karena dilarang oleh keluarga yang takut terhadap ancaman Taliban.

Untuk menjamin keamanan Malala, ia menggunakan nama pena 'Gul Makai' dalam blog-nya. Nama yang dalam bahasa Indonesia berarti 'Bunga Jagung' itu diambil dari cerita rakyat masyarakat Pashtun. Untuk mengisi diary online ini, seperti yang diberitakan oleh harian The New Yorker, Malala harus menulis di atas kertas. Kertas itu kemudian diserahkannya kepada reporter BBC Urdu yang kemudian menyalin dan mengirimkan tulisan itu ke kantornya melalui surel.

Mirza Waheed, mantan editor BBC Urdu mengungkapkan, "Kami selalu memberitakan keadaan politik dan kekerasan di Swat secara detail. Tapi kami tak pernah tahu seperti apa kehidupan masyarakat di sana, di bawah rezim Taliban."