Sebelum divonis menderita kanker lidah stadium 4, Puti terlebih dulu menderita sariawan yang tak kunjung sembuh. Itu terjadi sekitar 3 tahun lalu. Karena cuma sariawan, Puti dan aku mengira ini penyakit biasa. Sudah berobat ke banyak dokter namun sariawan di mulut Puti tak juga hilang. Kebetulan Puti menggunakan kawat gigi, sehingga kami kira sariawan muncul akibat penggunaan kawat gigi.
Sampai suatu hari salah satu giginya patah, meninggalkan bekas runcing pada gigi yang patah itu. Akibatnya, membuat lidah Puti terluka dan menjadi sariawan. Menurut dokter, mulut adalah tempat banyak kuman dan bakteri sehingga ketika ada luka di area mulut, akan membuatnya jadi meradang.
Di samping itu, Puti juga menderita vertigo. Bila sedang menyerang, ia akan merasa sangat pusing, tapi kemudian sembuh sendiri. Namun di bulan puasa tahun 2011 vertigonya kembali menyerang cukup parah hingga ia harus dirawat selama dua hari di RS. Seusai Lebaran 2011 yang Puti rayakan di Padang bersama ayah dan adik-adiknya, aku kembali mengecek vertigonya. Saat diperiksa, ternyata dokter menemukan benjolan sebesar bakso di leher kiri Puti. Dokter lalu menyarankan kami mengunjungi spesialis onkologi dan melakukan biopsi.
Ya Allah, aku lemas ketika dokter mengatakan putriku terkena kanker lidah stadium 2B setahun yang lalu. Bayangkan, bagaimana perasaan Puti saat itu. Dokter lalu menyarankan langsung dioperasi saja. Aku keberatan dan ingin mencari pendapat dokter lain atau second opinion. Ternyata hasilnya sama, Puti harus dioperasi.
Sebelum dioperasi, aku mencoba pengobatan herbal untuk Puti. Namun tak tak ada hasilnya. Kondisi Puti malah semakin drop. Akhirnya, aku pasrah dan Puti dioperasi di Bukit Tinggi, tempat tinggal mantan suamiku. Tujuannya, tak lain agar banyak yang bisa menjaga dan mengawasi.
Selain itu, adik Puti baru saja melakukan operasi payudara dan berhasil diangkat. Kami berharap operasi Puti kali ini pun berhasil. Usai operasi, Puti harus menjalani kemoterapi sebanyak tiga kali. Namun saat menjalani kemo kedua, muncul benjolan baru. Kemo harus ditambah tiga kali lagi. Karena kondisinya makin melemah, aku minta Puti dirawat di Jakarta saja. Rumah kami, toh di Jakarta.
Lalu aku membawa Puti berobat ke RS Dharmais dan menjalani kemo sebanyak 5 kali. Kondisi Puti ketika itu sangat lemah. Aku tak tega melihat anakku dikemo terus. Apalagi banyak orang bilang, penderita kanker akan makin buruk kondisinya usai dikemo. Aku menjadi takut.
Aku kembali memilih melakukan pengobatan herbal demi kesembuhan Puti. Namun di saat melakukan pengobatan herbal, lagi-lagi di bawah dagunya muncul benjolan besar. Melihat kondisi ini, dokter menyarankan agar Puti diradiasi.
Sayang, usai diradiasi luka di dagunya justru makin membesar dan tak ada perubahan pada kesehatannya. Lama-lama dokter yang merawat putriku menyerah. Selain di lidah, kanker sudah menyerang kelenjar getah beningnya. Akhirnya, aku memutuskan merawat Puti di rumah saja, ditunjang sejumlah alat untuk membantu perawatannya.
Aku kerap memberinya painkiller dan morfin. Sebenarnya itu hanya obat pereda nyeri, bukan untuk menyembuhkan sakitnya. Saat kondisinya drop, misalnya muntah tak henti, barulah aku membawa Puti ke RS. Saat kondisinya mendingan, aku bawa ia pulang ke rumah.
Noverita K Waldan / bersambung