Setelah lebih dari seminggu tinggal di Trunan, saya akhirnya menguatkan hati pulang ke rumah dinas. Kamis (22/11) malam, ketika berhasil masuk ke ruang keluarga, saya salami dan ciumi anak-anak yang sedang nonton teve. Tak disangka, di situ ada peremuan lain. "Siapa kamu?" tanya saya. Belum lagi mendapat jawaban, suami muncul. Ia menjawab kasar. Perempuan itu diakuinya sebagai istrinya yang sah.
Saya bagai tersengat halilintar. "Ini rumah dinas wakil walikota. Siapa pun yang dibawa kemari, itu haknya. Ini bukan rumah dinas ibu wakil walikota!" teriak suami. Sejurus kemudian, ia memukul dan mendorong saya di hadapan anak-anak dan perempuan itu. Saya pun diseretnya ke luar rumah.
Peristiwa itu tentu saja tak bisa saya tolerir. Akhirnya, saya kembali melaporkan tindak KDRT yang dilakukan suami ke polisi. Saya ceritakan penderitaan yang saya terima selama belasan tahun usia perkawinan kami. Untuk menguatkan upaya hukum, Senin (10/12), saya melaporkan suami ke Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan BP3AKB Provinsi Jawa Tengah. Women Crisis Center Magelang tak bisa maksimal membantu saya karena lembaga itu secara struktural ada di bawah Pemkot Magelang.
Mau tak mau saya harus menggunakan jasa pengacara untuk mendapatkan hak asuh kedua anak. Saya juga merasa perlu mendapat dukungan dari banyak lembaga yang peduli dengan kasus seperti ini karena saya menerima ancaman dan teror dari suami. Akhirnya saya tinggalkan rumah di Trunan tanpa membawa apa pun. Bersama tiga adik dan Ibu, saya mendapat perlindungan Ibu Nyai Muljati Musyarofi, pemilik Pondok Pesantren Tidar. Kami tinggal di salah satu rumahnya.
Di pondok pesantren saya bisa memiliki kegiatan baru, jadi guru PAUD. Rencananya, saya juga ingin meneruskan kuliah di Fakultas Agama Islam yang sempat terbengkelai. Air mata ini rasanya sudah kering untuk meratapi KDRT yang saya alami. Andai masih tersisa, hanya untuk anak-anak. Untuk menumpahkan kerinduan kepada anak-anak, kami berkomukasi via media sosial.
Ternyata, tak selamanya jadi istri pejabat itu menyenangkan. Saya sudah bulat memutuskan tak akan kembali ke rumah. Sudah tak ada lagi rasa hormat saya untuk suami. Yang saya rindukan hanyalah anak-anak. Sudah lebih dari sebulan saya terpisah dari mereka. Saya ingin kebersamaan ibu-anak kembali saya rasakan.
Joko Prasetyo "SAYA TUNGGU GUGATAN CERAINYA!"
Kendati sejak Sabtu (15/12) sudah ditetapkan sebagai tersangka pelaku KDRT oleh Polresta Magelang, Wakil Walikota Magelang Joko Prasetyo, SSos. mengaku statusnya itu tak mengganggu posisinya sebagai pejabat publik. Juga tak mengguncang kehidupannya. "Saya hanya menyayangkan, masalah keluarga diangkat ke ranah publik. Tapi jika dia puas dengan itu, ya, itu hak dia. Saya sebagai warga negara menghormati supremasi hukum dan akan menjalani semua proses hukum," tutur Joko saat ditemui di ruang kerjanya, Balaikota Magelang, Rabu (19/12).
Awalnya, Joko masih berharap kasusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan tanpa campur tangan orang lain. Karena itu, berulang kali ia mengimbau istrinya untuk pulang, baik rumah dinas maupun rumah pribadi di Trunan. "Saya tak pernah mengusirnya. Dia yang pergi dari rumah," tegasnya.
Menurut pria yang aktif di kepartaian sejak 1982 ini, setiap ada masalah di rumah tangga mereka, Ida kerap pergi dari rumah. "Sedikit saja ada masalah, dia pergi dari rumah. Setelah itu minta dijemput."
Sejak Ida tinggal di pesantren Malangan, lanjut Joko, "Saya pernah ke sana bersama ulama Gus Yusuf, Minggu (16/12), untuk menjemputnya. Istri saya bilang rindu anak-anak. Tapi begitu saya datang, dia malah marah-marah dan minta cerai. Adiknya juga ikut-ikutan marah. Ya sudah, kami pulang."