Pada tahun 2011, akibat penyakitnya, Mamaku meninggal dunia. Anehnya, ketika itu sikap Ari kembali menjadi baik. Tetapi tak lama. Bahkan Ar kembali berani main perempuan. Aku tahu, dia bahkan sampai mendaftar ke sebuah biro jodoh untuk mendapatkan pasangan. Entah sudah berapa kali dia berganti-ganti pacar. Yang membuat hatiku makin hancur, dengan beraninya dia mengajak pacar-pacarnya itu ke dalam rumah, sampai dua kali!
Oh ya, Ar bekerja di sebuah perusahaan sebagai manajer keuangan dan gajinya lumayan besar. Tapi asal tahu saja, dia hanya memberiku uang bulanan sebesar Rp 600 ribu untuk uang dapur, pengeluaran rumah tangga, sampai biaya sekolah anak-anak. Mana cukup uang segitu untuk menutupi biaya bulanan kami? Oleh karena aku tak punya uang lebih untuk menutupi biaya sekolah si sulung, Ax (12), aku memutuskan untuk mengadu dan minta bantuan ibu mertua. Syukurlah, ibu mertuaku mau memberikan uang untuk sekolah anak-anak. Tentu saja hal ini tak aku ceritakan kepada Ar. Karena aku tahu, dia akan marah dan menghajarku habis-habisan.
Tanggal 16 September 2012, Ar memutuskan pindah kerja. Namun tak lama kemudian ia diberhentikan dari perusahaan barunya. Aku tak tahu apa masalahnya. Yang jelas, sejak itu tindakan kasarnya semakin menjadi-jadi. Kesalahan kecil saja bisa membuat dia kalap.
Dulu, sebetulnya aku sempat bekerja. Tetapi setiap aku pulang kerja agak malam karena ada rapat di kantor, Ar selalu marah. Tak tanggung-tanggung, dia tega menendang tulang rusukku dan menyuruhku berhenti kerja. Demi kelangsungan rumah tangga kami, aku pun mengalah dan memutuskan berhenti kerja. Selanjutnya, setelah Ar tak punya pekerjaan, dia menjual mobil kami. Sebenarnya itu mobil pribadiku, namun dia memaksaku untuk mengganti nama kepemilikan mobil di BPKB dan STTNK dengan namanya.
Mobil itu dijualnya seharga Rp 100 juta. Uangnya sempat dipakai untuk membayar biaya sekolah Ax dan berekreasi ke Anyer. Sisa uangnya, aku tak pernah tahu untuk apa. Tak hanya mobil yang dia jual, uang tabunganku pun ludes diambilnya.Sampai kemudian aku dan kakakku berencana ingin menjual rumah peninggalan orangtua di kawasan Sawangan, Depok (Jabar) yang kami tinggali ini. Ar yang mendengar rencana itu langsung mengajukan permintaan bagian uang dari hasil penjualan rumah kami.
Anehnya, Ar merasa jika rumah itu sudah dijual, aku akan meninggalkan dirinya. Karena itulah dengan segala cara Ar bisa menguasai surat-surat rumah kami. Sayangnya, lagi-lagi aku dan kakakku tak bisa berbuat apa-apa untuk menghadapi Ar. Aku dan kakakku takut perangai kasar Ar akan mencelakai kami.
Edwin Yusman F / bersambung