Hana Alfikih, Skizofrenia Tak Menghalangi Kreativitasnya (1)

By nova.id, Kamis, 8 November 2012 | 01:27 WIB
Hana Alfikih Skizofrenia Tak Menghalangi Kreativitasnya 1 (nova.id)
Menggelandang

Lama-kelamaan, ­hubunganku dengan kedua orangtua ­makin retak. Rumah bukan lagi jadi tempat yang sejuk buatku berlindung, tapi justru panas layaknya medan perang. Aku mulai tak betah di rumah. Suatu hari, aku cekcok besar dengan Mama dan telepon genggamku disita kakakku. Ketika aku melangkahkan kaki ke luar rumah, mereka hanya berkata sambil lalu, "Kalau butuh apa-apa kabarin aja." Aku pun diusir dari rumah.

Sambil menangis, aku memeluk dua adikku yang masih kecil-kecil. Merana sekali rasanya diikhlaskan pergi seperti itu. Tanpa uang dan baju ganti, aku angkat kaki dari rumah. Saat merogoh kantong celana jins yang kukenakan, aku menemukan uang Rp 300. Dengan uang itu, aku pergi ke wartel (warung telepon) dan menelepon teman yang nomor telepon rumahnya aku ingat. Kepada teman itu aku minta izin menginap, tapi dia bilang, malam itu aku tak bisa datang karena suatu alasan.

Jadilah malam itu aku tidur di sebuah musala. Subuh-subuh sekali, aku dibangunkan untuk pindah karena musala itu mau dipakai salat berjamaah. Aku pindah tidur ke sebuah pos satpam yang terletak di pinggir kali. Jangan tanya bagaimana perasaanku. Berkali-kali terlintas berbagai kejahatan yang bisa menimpaku, tapi buru-buru kutepis pikiran itu. Aku menutup mata sambil merapal doa, semoga Tuhan masih melindungiku.

Masalah kembali datang saat perutku mulai keroncongan. Lapar tapi tak punya uang, aku mengamen di tepi jalan daerah Jatinegara, Jakarta Timur. Mungkin karena perawakanku bersih dan tak seperti pengamen lain, jarang ada yang mau memberi recehan kepadaku. Akhirnya, aku makan apa saja yang bisa dimakan.

Rupanya, setelah nyaris dua minggu menggelandang, Mama mendatangi sekolahku dan menceritakan apa yang terjadi ke kepala sekolahku sambil menangis. Alhasil, guru-guru dan kepala sekolah ikut heboh mencariku. Saat akhirnya aku ditemukan, lagi-lagi aku seperti menemui jalan buntu. Mama begitu ketus saat aku berada di rumah, tapi saat aku tak pulang ia mencariku. Mama mengusirku, tapi lalu menangis minta aku kembali. Pengusiran dan kabur dari rumah ini tak hanya terjadi sekali, tapi berkali-kali. Sungguh, masa remaja adalah masa suram buatku.

Astudesra Ajengrastri / bersambung