Siangnya, sekitar pukul 12.00, "Mama terima telepon dari Om yang mengabarkan pesawat Papa jatuh. Mama lalu menghubungi saya sambil teriak-teriak. Saya langsung cari tiket pesawat ke Bandung," kisah ibu dua anak itu. Di tengah kekalutan, "Saya bersyukur Mama bersama keluarga besar, jadi tetap ada support meski anak-anaknya tidak ada."
Sampai di Bandung sekitar pukul 20.00, barulah Nasha mendengar cerita lengkap perihal kecelakaan sang ayah. Pesawat AS-202 Bravo yang dikemudikan Norman lepas landas pukul 11.37. Baru lima menit di udara, pesawat berwarna merah-putih yang tengah bermanuver itu menabrak Gedung Dislitbang Angkatan Udara (AU), tak jauh dari Lanud Husein Sastranegara. Mereka dinyatakan tewas. Jenazah Norman dan Toni langsung dibawa ke Rumah Sakit (RS) Hasan Sadikin Bandung untuk diidentifikasi. "Karena Mama tak kuat, Nindya yang melakukan identifikasi." Minggu (30/9), jenazah Norman dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sinaraga, Bandung.
Kendati terasa berat, "Jika boleh memilih, ini mungkin jalan terbaik Papa untuk pergi. Papa tidak merasakan sakit dan meninggal saat melakukan hobinya. Papa memang sangat suka terbang dan Angkatan Udara (AU)." Cinta Norman pada dunia dirgantara dimulai sejak 1973. Norman yang kala itu sedang menempuh pendidikan kedokteran kemudian bergabung dengan TNI AU karena ikatan dinas. "Papa terlanjur jatuh cinta pada dunia militer. Buktinya, setelah masa ikatan dinas berakhir, tetap memilih jadi dokter TNI AU," kisah Nanda, putri kedua Norman.
Tahun 1977, Norman yang melanjutkan pendidikan spesialis kesehatan mata, mulai berlatih terbang. Sejak itu, ia seolah tak bisa dipisahkan dengan pesawat. Di masa kecilnya, Nanda mengingat, sang ayah kerap mengajak ketiga putrinya terbang bersama di dalam kokpit. Pun setelah pensiun dari AU dan mendirikan Bandung Eye Center (BEC), Norman yang lantas bergabung dengan FASI (Federasi Aero Sport Indonesia) tetap rutin terbang dengan pesawat pribadinya di akhir minggu. "Pokoknya, sejak kami buka mata dan melihat dunia, sudah lihat Papa terbang," kisah Nasha.
Segala risiko sebagai penerbang pun seakan sudah siap dihadapi keluarga. Norman, sebut Nanda, tak pernah membicarakan kematian sebagai sesuatu yang mengerikan. "Pernah kami obrolin teman yang kecelakaan motor. Papa hanya komentar, 'Sudah, tidak usah dibahas. Itu berarti SK (Surat Keputusan, Red.)-nya sudah turun,' begitu kata Papa," kenang Nanda.
Serba Teratur
Baik Nasha maupun Nanda mengenang sang ayah sebagai pribadi yang disiplin dan teratur. "Di lemari bajunya, semua dasi Papa disusun berdasarkan gradasi warna. Begitu juga obat, disusun dari botol yang paling tinggi ke yang terendah," ujar Nasha. Toh, keteraturan itu tak lantas membuat Norman menjadi kaku. "Papa justru sangat hangat dan perhatian. Dulu sewaktu kami masih kecil, setiap pulang praktik pasti bawa oleh-oleh."