Aku masih begitu ingat ungkapan Abi. "Mama, nanti habis operasi Abi dirawat di ICU lagi?" Agaknya dia masih ingat dengan operasi yang pertama. Saat itu, ia juga dirawat di ICU. Dia katakan lagi, "Nanti di ICU Mama ada, kan?" Saya jawab akan selalu menemaninya. Kata-kata Abi sungguh tidak bisa saya lupakan.
(Sejenak mata Tri berkaca-kaca. Namun ia kembali tegar dan meneruskan ceritanya.)
Ketika masuk ruang operasi, Abi tampak tegar. Sebelumnya, ia kan suka sekali main games. Dokter juga pintar. Ketika Abi didorong menuju ruang operasi, dokter selalu bertanya dan mengobrol tentang games. Sampai bius bekerja, Abi hanya mengingat games, sama sekali enggak menunjukkan rasa takut.
Kami terus berdoa demi kebaikan Abi. Mudah-mudahan operasi berjalan lancar. Seusai operasi, aku dan suami dipanggil dokter. Kami mendapat penjelasan, dokter hanya bisa mengangkat 70 persen tumor, selebihnya sudah tidak bisa lagi karena sudah menempel di batang otak. Rencananya, bila Abi sudah sadar dan kondisinya bagus, ia akan menjalani kemoterapi.
Namun sejak operasi hingga sekarang ini sudah sekitar dua bulan, Abi tak kunjung sadar. Aku memang mengkhawatirkan nasibnya, tapi tidak menyerah. Aku akan selalu tegar mendampingi buah hatiku. Toh, kondisinya sudah ada kemajuan. Yang semula refleksnya tidak ada, sekarang sudah makin bagus. Ia sudah mulai punya power. Ia sudah bisa menggeliat dan menggerak-gerakkan wajahnya. Memang ini yang ditunggu dokter.
Sekarang, yang ditunggu adalah refleks paru-parunya. Abi, kan, masih tergantung ventilator. Ia sedang latihan napas. Mudah-mudahan perkembangannya bagus. Dokter memang menunggu Abi sadar. Selanjutnya, ada tahap-tahap yang masih butuh proses panjang.
Selama menemani Abi saat jam besuk, beberapa kali aku melihat keajaiban. Tiap kali datang, aku selalu menyapanya. Nah, ia selalu bereaksi. Dia menggeliat seolah menyapaku. Aku yakin, ia pasti tahu kedatanganku. Ajaibnya, saat kuajak mengobrol, matanya agak membuka. "Abi, cepat bangun, ya," begitu sering kukatakan padanya.
Abi, kan, suka sekali cerita wayang. Saat menemaninya, aku sering membacakannya kisah wayang kesukaannya. Salah satunya buku Antareja dan Antasena (dua kstaria putra Bima). Bukan komik, lho, tapi novel. Buku ini sudah puluhan kali dibacanya, tapi enggak pernah bosan. Saat membacanya, aku sengaja memplesetkannya. Ah, matanya mengerjap-kerjap. Dulu semasa sehat, bila aku memplesetkan kisah wayang, ia langsung protes. "Bukan begitu, Mama!"
Gerak matanya kutangkap sebagai protes. Lalu, kukatakan, "Mama salah ya, Nak." Lalu, ia tenang kembali. Makanya aku yakin betul, ia pasti mendengar ceritaku. Di kala lain, aku katakan juga kepadanya, "Coba genggam tangan Mama." Kulihat ia tampak bekerja keras. Aku merasakan, tanganku ia sentil.
Henry Ismono / bersambung