"Hingga seorang anak berusia empat tahun, ia belum bisa membedakan antara fantasi dan kenyataan," ujar psikolog Nisfie M. Hoesein. Jika ditilik dari rasio dan cara berpikirnya, lanjut Nisfie lagi, tokoh fiktif yang bersifat pahlawan (superhero) adalah yang paling mudah menjadi inspirasi atau idola anak.
Oleh sang anak, tokoh inspirasi ini akan diserap dan diadopsi menjadi bagian dari dirinya. "Dalam tahap perkembangan usia, proses ini juga dipengaruhi oleh pengasuhan keluarga," kata Nisfie. Jika pengalaman masa tumbuh kembang si anak kondusif, ia akan mengambil tokoh idola yang baik. Sebaliknya, "Jika ada kekerasan, penghinaan, atau pengalaman negatif lainnya, kemarahan anak akan terakumulasi."
Akibatnya, lanjut Nisfie, saat ada tontonan atau cerita dengan tokoh antagonis, si anak akan mencontoh kejiwaan karakternya. "Sebab di saat marah, anak merasa tak mampu melawan pihak yang lebih tua."
Hal yang sama bisa terjadi pada video games. Belakangan diketahui, James Holmes adalah pecandu video games yang penuh aksi perkelahian seperti World of Warcraft dan terobsesi menjadi salah satu karakter di dalamnya. "Dalam video games seseorang bisa menciptakan karakter sesuai keinginannya. Ini normal asal si anak tumbuh dalam keluarga yang hangat. Akan berbahaya jika anak main games sebagai pelarian karena di kehidupan nyatanya ia tertekan."
Seseorang yang cerdas namun terobsesi bisa jadi memiliki riwayat trauma emosional atau kerusakan neurologis saat lahir. Pada kasus James, "Kemarahannya mengendap karena ia tak menemukan tokoh yang bisa membuatnya stabil. James lalu mengadopsi tokoh The Joker yang ia tahu fiktif. Karakter badut yang semestinya menghibur justru tampil mematikan. Seperti anggapan, betapa asyiknya menyakiti seseorang dalam keadaan suka ria."
Toh, sebut Nisfie, tak selamanya mengidolai tokoh fiktif itu tak sehat. Beberapa orang dewasa juga masih menyenangi superhero tertentu. "Selama kemampuan sosialisasi dan emosinya berkembang baik, itu wajar saja. Tapi jika mereka terobsesi dan tak mengindahkan lingkungan, itu patut diwaspadai."
Tandanya antara lain, sulit berinteraksi dengan teman sebaya, lebih menikmati kesendirian, asyik dengan dunianya seperti khayalan tokoh idola atau mainan, suka berkonflik, ditolak pergaulan, hingga senang menyiksa binatang. "Komunikasi dengan pendekatan kasih sayang adalah kunci utama saat memberi penjelasan kepada anak untuk membedakan tokoh fiksi dan dunia nyata," tutup Nisfie.
Siapakah " The Joker"?
Nama James Eagan Holmes mendadak populer setelah aksi penembakan brutal yang dilakukannya pekan lalu. Dunia pun bertanya-tanya, siapakah sebenarnya anak muda yang mengecat rambutnya dengan warna merah menyala dan mengaku sebagai The Joker ini?
James yang lahir pada 13 Desember 1987 adalah mahasiswa doktoral program neuroscience atau ilmu syaraf di University of Colorado Denver/Anschutz Medical Campus. Semula James dikenal sebagai siswa berotak cemerlang, namun beberapa bulan terakhir nilainya anjlok. Kabarnya, itu pula yang membuat James mengundurkan diri dari kampusnya.
James berasal dari keluarga baik-baik. Ibunya yang perawat dan ayahnya yang bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan software adalah pasangan yang sangat dihormati di lingkungan mereka. James juga memiliki seorang adik perempuan.